Lebih baik aku mati, ketimbang menjalani hidup pahit bergelimang darah, pada hati yang telah dilanda kemunafikan, dan kepura-puraan. Aku ingin hidup jujur apa adanya kepada setiap orang. Sesungguhnya, hidup yang paling menyesakkan ialah tatkala timbul rasa sedih, namun harus menampakkan rasa bahagia. Bagiku, itu adalah kedustaan yang paling nyata.
Kedustaan akan membawa petaka, ketika tumpukan-tumpukan amarah tak lagi terbendung dan akan menjadi bom waktu. Meledak dengan dahsyat tanpa pandang bulu kepada siapa pun yang dibenci tanpa terkecuali.
Kali ini, izinkan aku pergi karena tak mampu lagi menatap lembaran-lembaran putih kehidupan. Bagiku, semua telah berakhir. Aku tak mampu hidup bersama kalian dalam kepura-puraan.
Mungkin kalian akan betanya perihal kepergianku, sayang mulutku tak bisa menjawab karena kehabisan kata-kata. Dalam hal ini, jujur merupakan malapetaka yang akan membuat hati kalian tersinggung atas perkataan benarku. Oleh karena itu, aku tak mampu mengungkapkannya. Hanya kepergianlah yang akan membuat kalian paham atas segala rasa pada jiwa ini.
Aku pamit pergi, menggapai keabadian yang tak kudapatkan di dunia ini. Hanya segelintir rasa penyesalan, yaitu ketika diriku pernah terjebak pada kebaikan kalian. Suatu kebaikan yang bernilai pencitraan, dan pada akhirnya harus gugur akibat ditelan waktu, sehingga kebaikan-kebaikan itu berubah menjadi keburukan.
 Aku telah salah menilai kalian. Semoga kepergianku ini juga bukan merupakan kesalahan dalam menilai kalian. Tak elok jika harus menyesal setelah aku benar-benar pergi.
Sebuah gelas emas berisi racun telah siap kuminum, di samping kananku sang malaikat pencabut nyawa telah siap menghunuskan pedangnya. Seketika... Kebadian telah muncul di depan mataku.