Di sebuah pos ronda, beberapa orang tampak asyik menikmati seduhan kopi arabica sembari tangan-tangan lihai mereka melemparkan kartu remi. Beberapa saat setelah itu, terdengar suara teriakan bahagia dari seseorang bernama Jarot.
      "Hiya... Akhirnya aku menang. Haha."
      Abdi, Ridho, dan Jati mengumpat kasar hampir bersamaan, seolah mereka tak terima jika kalah dengan cepat oleh Jarot. Permainan kartu dilanjutkan sampai ada satu pemain yang tersisa dan dinyatakan kalah.
      "Nah loh... Rasakan!"
      Jati berteriak kesetanan setelah berhasil mengalahkan Ridho yang dalam hatinya mungkin kesal karena sering kali kalah dan berakhir dengan mengocok kartu. Suara tawa diiringi candaan kembali terdengar dari mulut-mulut mereka, padahal waktu telah menunjukkan pukul 1 pagi.
      "Hai Samsir, ayo gabung ke sini!"
      Jati menyuruhku yang dipojokkan gardu untuk bergabung, bermain kartu remi bersama mereka, namun aku menolak secara halus karena tak bisa bermain.
      "Ealah Sam... Sam. Jadi laki-laki kok ra iso dolanan kartu, ra seneng rokok karo kopi, bukan laki-laki tuh namanya!"
      Terdengar suara tawa dari mulut-mulut mereka. Memang benar, aku tidak menyukai tiga hal itu. Kemudian, Jati menambahkan ceramahnya yang panjang, ibarat seorang dosen, dia sedang memberikan kuliah 2 sks kepada mahasiswanya.
      "Aku beri tahu, namanya laki-laki harus suka kopi walau rasanya pahit di lidah, sebab kopi melambangkan kejantanan..."
      "Lho kok iso?" Ujar Jarot memotong pembicaraan.