Mohon tunggu...
Addi Arrahman
Addi Arrahman Mohon Tunggu... Dosen - Direktur Eksekutif Bersama Institute/ Dosen UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi

Membaca, menulis dan mengajar adalah jalan menuju bahagia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Selamat Ulang Tahun Mahyuddin Dt. Sutan Maharaja (27 November 1860-24 Juni 1921)

27 November 2020   06:49 Diperbarui: 27 November 2020   06:57 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ket: berita peringatan ulang tahun Dt. Sutan Maharaja ke-50 di surat kabar Soenting Melajoe, No. 22, Hari Sabtoe 30 November 1912 (Dok. pribadi)

Bila dihitung mundur, tepat 160 tahun yang lalu, lahirlah seorang anak bernama Mahyuddin. Dia adalah putra Dt. Bandaharo Pitopang dari Rumah Gadang Silungkang. Ibunya bersuku Dalimo Singkek, sehingga dia adalah penyambut sako dari ninik mamaknya, Dt. Sutan Maharaja Besar yang dibunuh oleh orang Paderi karena mempertahankan “yang sebatang adat”.

Kamatian itu, menyisakan “dendam”. Dt. Malakomo (putra Dt. Sutan Maharaja Besar) coba membalaskan kematian ayahnya itu. Tapi dia pun mati di medan perang melawan pasukan paderi. Dendam itu terbalaskan setelah putra Dt. Malakomo, yaitu Dt. Bandaharo Piliang Tabuah nan Gadang, serta sekitar 200 orang pendekar dari Sulit Air, membantu Belanda menguasai Bonjol di tahun 1837. Dt. Bandaharo Piliang Tabuah nan Gadang ini, tak lain adalah ayah Dt. Bandaharo Pitopang dari Rumah Gadang Silungkang (Soenting Melajoe, No. 34, 1 Oktober 1920).   

Dendam Dt. Sutan Maharaja dan Visi Kemajuan

Mahyuddin paham betul cerita ninik moyangnya yang mati terbunuh oleh kaum paderi. Itulah sebabnya, dia manaruh dendam terhadap ide-ide pembaharuan yang ingin mengubah adat alam Minangkabau dengan adat dan budaya lain. Entah dari Arab atau pun Barat. Baginya, kemajuan itu haruslah bersendikan kepada adat alam Minangkabau, bukan adat “orang datang”.

Mahyudin sama sekali tidak “kebarat-baratan” walaupun dia termasuk generasi pertama orang Minangkabau yang mengenyam pendidikan di sekolah Belanda (western educated). Selain gemar mempelajari ilmu hukum dan disiplin ilmu lainnya, Mahyuddin sejak kecil juga rajin mempelajari ilmu agama, seperti fiqih, tajwid, dan khususnya tarekat. Saat dia bekerja sebagai jaksa di Indrapura dan Pariaman, dia menekuni ilmu tarekat. Menurutnya, tarekat adalah alasan penting mengapa orang Minangkabau “melayu” (Jawa: Lari) dari agama Budha ke Islam.

“Lari dari agama Boeda ke agama Islam, dari karena terasa lebih baik agama islam, jaitoe agama islam jang tjara Imam al-Ghazali, dalamnja tiada kedar sjari’at sadja, melainkan ada bertharekat martabat 7, ada marma’rifat (theosophie) dan ada berhakikat.”  (Soenting Melajoe No. 2, 14 Jnuari 1921)

Cukup beralasan bila Mahyuddin gelar Dt. Sutan Maharaja, sangat menentang upaya pembaharuan Islam yang ingin mengganti sendi-sendi adat alam Minangkabau. Saat menjadi redaksi surat Kabar Pelita Ketjil (1891) dan Tjaja Sumatra (1904) dia sering berperang pena dengan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. “Perang pena” ini terus berlanjut dengan murid-murid ulama besar tersebut, seperti Syekh Abdullah Ahmad. Dt. Sutan Maharaja sangat khawatir bila pandangan serba “hitam-putih” pengikut “wahabi” itu merusak adat alam Minangkabau. Padahal, menurutnya, pra syarat kemajuan itu telah disediakan oleh adat. Komitmen dia mempertahankan adat alam Minangkabau menjadi alasan pemuka adat memberi gelar “Dt. Bangkit” kepadanya.

Pada tahun 1911 Dt. Sutan Maharaja mulai menerbitkan surat kabar sendiri, yaitu “Oetoesan Melajoe”. Surat kabar ini, selain menjadi yang pertama diterbitkan berbahasa Melayu, menjadi media perlawanan terhadap dominasi ekonomi Cina dan Arab yang didikung oleh aristokrat di Padang, serta membendung wacana kemajuan yang ingin menggantikan “adat” dengan aturan “fiqh”.

Atas permintaan Ruhana Kuddus (kakak M. Sjahril) dari Koto Gadang, pada tahun 1912, Dt. Sutan Maharaja menerbitkan surat kabar Soenting Melajoe yang kemudian dipimpin oleh putrinya sendiri, Zubaidah Ratna Juwita dan Ruhana Kuddus. Kehadiran Soenting Melajoe semakin berpengaruh besar dalam membentuk kesadaran “kemajuan” di Minangkabau pada awal abad ke-20.

Melalui 2 surat kabar itu, Mahyuddin Dt. Sutan Maharaja melembagakan ide kemajuan yang bersendikan adat alam Minangkabau. Setidaknya ada tiga hal yang dilakukannya, yaitu: kesadaran literasi (baca-tulis), kesadaran pentingnya pendidikan (sekolah), kesadaran pentingnya keterempilan (tenun).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun