RUU Militer: Kembalinya Bayang-Bayang Dwifungsi dan Demokrasi yang Terancam
Pengesahan revisi Undang-Undang TNI per- Maret 2025 telah mengguncang fondasi demokrasi Indonesia. Dengan memberikan kembali ruang bagi perwira aktif untuk menduduki jabatan sipil di berbagai kementerian dan lembaga negara, pemerintah tampaknya tengah membuka jalan bagi kembalinya dominasi militer dalam pemerintahan. Ini bukan hanya sebuah kebijakan pertahanan, tetapi sebuah langkah politik berbahaya yang dapat menggerus supremasi sipil dan membawa kita kembali ke era kelam dwifungsi ABRI.
Salah satu figur sentral dalam polemik ini adalah Mayor Teddy Indra Wijaya, yang kini menjabat sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab) tanpa melepaskan statusnya sebagai perwira aktif TNI AD. Keputusan untuk mengesahkan RUU ini menimbulkan kecurigaan besar, apakah ini upaya untuk menormalkan statusnya? sekaligus memberikan legitimasi bagi praktik serupa di masa mendatang? Jika benar, maka ini bukan hanya soal kebijakan pertahanan, tetapi sebuah skema sistematis untuk melemahkan batas antara militer dan sipil, yang selama ini menjadi prinsip utama demokrasi pasca Reformasi.
Menurut data dari Imparsial, sebelum revisi UU ini, setidaknya 2.569 perwira aktif telah ditempatkan di berbagai lembaga sipil. Kini, dengan pengesahan RUU ini, setidaknya 14 posisi strategis di kementerian dan lembaga sipil resmi terbuka bagi militer aktif, termasuk di BIN, Lemhannas, BSSN, hingga Dewan Ketahanan Nasional. Dengan kata lain, militer bukan hanya kembali merangsek masuk ke ranah sipil, tetapi juga mendapatkan jalur legal untuk mengamankan kepentingannya di dalam pemerintahan.
Bayangan Gelap Orde Baru: Militerisme, Represi, dan Premanisme
Sejarah menunjukkan bahwa ketika militer memiliki terlalu banyak wewenang dalam urusan sipil, konsekuensinya adalah meningkatnya otoritarianisme. Selama era Orde Baru, dwifungsi ABRI menjadikan militer sebagai instrumen utama kendali negara, menciptakan tatanan pemerintahan yang represif. Salah satu warisan paling kelam dari periode tersebut adalah operasi Penembak Misterius (Petrus), di mana negara menggunakan aparat untuk 'membersihkan' individu yang dianggap mengganggu stabilitas. Tanpa mekanisme kontrol yang jelas, kekhawatiran akan kembalinya pola-pola ini menjadi semakin beralasan.
Apakah kita sedang menuju ke era di mana militer kembali berperan sebagai alat represi? Dengan semakin banyaknya posisi strategis yang kini dapat diisi oleh perwira aktif, apakah ini berarti negara sedang mempersiapkan infrastruktur untuk 'menertibkan' masyarakat sipil dengan pendekatan koersif? Lebih buruk lagi, apakah kita akan melihat kembali fenomena 'premanisme berseragam' di mana hukum dan keadilan tunduk pada kepentingan elite tertentu?
Lantas apa yang dikhawatirkan oleh Rakyat?
Masyarakat sipil tidak hanya mencemaskan kembalinya dwifungsi ABRI, tetapi juga konsekuensi jangka panjang dari pengesahan UU ini. Beberapa kekhawatiran utama yang muncul antara lain:
Erosi Demokrasi dan Supremasi SipilDengan semakin banyaknya perwira aktif yang dapat menduduki jabatan sipil, pemerintah berpotensi kehilangan sifat sipilnya dan berubah menjadi pemerintahan semi-militeristik. Jika tidak ada batasan jelas, maka keputusan-keputusan strategis negara bisa semakin didominasi oleh pendekatan militeristik yang sering kali tidak demokratis.
Potensi Represi terhadap Kebebasan SipilSejarah telah mengajarkan bahwa militer cenderung menggunakan pendekatan koersif dalam menghadapi kritik dan oposisi. Jika militer memiliki kendali lebih besar atas pemerintahan, apakah kritik terhadap pemerintah masih akan dihormati? Ataukah kita akan melihat lebih banyak kriminalisasi terhadap aktivis, pers independen, dan oposisi politik?
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!