Mohon tunggu...
ADAM DARY ARRAHMAAN SALMUN
ADAM DARY ARRAHMAAN SALMUN Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perkembangan Perpajakan Internasional Seiring dengan Perkembangan Industri 4.0

16 Oktober 2021   23:10 Diperbarui: 16 Oktober 2021   23:42 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam perindustrian, Indonesia telah masuk ke dalam kategori Industri 4.0 sejak tahun 2011 yang ditandai dengan perkembangan teknologi berupa machine learning di bidang perindustrian. Dalam industri otomotif, Indonesia sudah memakai infrastruktur tanpa campur tangan manusia yaitu internet of things (IoT). Selain itu, jaringan generasi kelima atau yang biasa disebut 5G juga sudah hadir di Indonesia. Untuk menunjang hal tersebut, Indonesia harus menjalin hubungan ekonomi dengan negara-negara lain untuk melakukan ekspor, impor, maupun pertukaran uang dan informasi agar dapat bersaing dengan negara lain. Transaksi yang meliputi 2 negara atau lebih disebut transaksi lintas batas. 

Ketika melakukan transaksi lintas batas, ada pajak yang harus dibayar baik pajak dalam negeri maupun pajak untuk negara yang bersangkutan. Hal ini tentulah menghambat laju perdagangan karena harus membayar pajak dua kali lipat atau yang biasa disebut pajak berganda. Untuk menghindari hal tersebut, dibentuklah perjanjian perpajakan internasional untuk memudahkan wajib pajak. 

Mungkin masih banyak yang menganggap pajak internasional adalah pajak yang berlaku secara internasional atau ketentuan perpajakan yang disepakati secara internasional. Namun sebenranya pajak internasional hanya istilah untuk mempermudah peneybutan untuk ketentuan perpajakan domestik yang mencakup aspek internasional atau transaksi lintas batas dan bukan merupakn jenis pajak baru. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah perjanjian antara 2 atau lebih negara atau yuridiksi dalam rangka penghindaran pemajakan berganda. P3B tidak hanya berlaku dalam perdagangan, tetapi juga berlaku untuk yang memiliki bisnis dan penghasilan di luar negeri. Dengan adanya P3B, subjek pajak hanya perlu untuk membayar pajak ke salah satu negara saja. 

Awal mula pembentukan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) ketika DTA 1 Saxony dan Prussia pada tahun 1899. Indonesia pertama kali membuat perjanjian P3B dengan Inggris, Belanda, Kanada, dan India pada tahun 1970. Di Indonesia sendiri, pembentukan P3B berdasarkan pada Peraturan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang terakhir diubah pada Peraturan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, P3B menjadi sumber hukum utama perpajakan Internasional. 

Lalu apa yang terjadi jika P3B bertentangan atau ada nya perbedaan ketentuan dengan UU domestik? Dalam hukum, P3B berkedudukan sebagai lex specialis sedangkan UU domestik berkedudukan sebagai lex generalis. Artinya P3B berkedudukan di atas UU domestik. Apabila keduanya bertentangan, ketentuan yang diberlakukan adalah ketentuan dari P3B. 

CONTOH KASUS P3B BERTENTANGAN DENGAN UU DOMESTIK 

Dalam pembentukannya, ada 2 jenis model yang dapat dijadikan contoh atau sebagai acuan dalam pembentukan P3B. Kedua model tersebut adalah OECD dan United Nations (UN). Perbedaan utama P3B model OECD dan model UN terlihat pada pembagian hak pemajakan. Dalam model OECD, pajak akan diberikan lebih banyak untuk negara domisili. Berkebalikan dengan model OECD, model UN akan memberikan pajak lebih banyak untuk negara sumber penghasilan. 

Subjek pajak yang disebut dalam P3B tidak hanya orang pribadi, tetapi juga badan usaha. Agar tidak terjadi penyalahgunaan P3B, tidak semua orang bisa dengan mudahnya menggunakan P3B. Subjek pajak harus menyertakan surat keterangan domisili sebagai salah satu syaratnya. 

Di Indonesia sendiri subjek pajak berdasarkan Undang-Undang PPh Pasal 4 ayat 1 terbagi menjadi dua, subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Subjek pajak dalam negeri adalah seseorang ataupun badan usaha yang bertempat tinggal di Indonesia dan mempunyai penghasilan di dalam negeri. Sedangkan subjek pajak luar negeri adalah seseorang ataupun badan yang tidak bertempat tinggal di Indonesia tetapi mempunyai penghasilan di dalam negeri. 

Undang-undang PPh Pasal 2 ayat 4 menjelaskan lebih mendalam kriteria dari subjek pajak luar negeri. Seseorang tersebut berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam 1 tahun. Untuk badan usaha, badan usaha tersebut harus tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia baik dengan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia maupun tidak. Walaupun badan usaha tersebut tidak menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, jika mereka mendapatkan penghasilan dari kegiatan ataupun usaha yang didirikan di Indonesia, mereka tetap wajib untuk membayar pajak sesuai ketentuan yang berlaku. 

SISTEM PEMAJAKAN DI INDONESIA

Di Indonesia, penghasilan baik yang bersumber dari Indonesia maupun dari luar Indonesia akan dikenakan pajak atau disebut dengan sistem pemajakan worldwide, Ketentuan ini berlaku bagi Wajib Pajak Dalam Negeri. Sementara itu, pengenaan pajak terhadap Wajib Pajak Luar Negeri, dilakukan melalui pemotongan atau disebut dengan witholding system atas penghasilan yang disebutkan dalam Pasal 26 Undang-Undang PPh. Selain itu, bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan kegiatan usaha melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT), menentukan penghasilan apa saja yang akan menjadi objek dalam pengenaan PPh terhadap BUT tersebut. 

Kemudian, Objek pajak yang disebut dalam P3B sendiri secara keseluruhan hampir sama seperti objek pajak yang disebut dalam Undang-Undang PPh Pasal 21. Beberapa diantaranya adalah bunga, dividen, laba usaha, dan royalti. Tetapi, tidak semua objek pajak diatur oleh P3B. Beberapa objek pajak hanya berlaku di suatu negara tertentu. Maka dari itu, untuk memastikan dapat memanfaatkan P3B, objek pajak adalah salah satu hal penting untuk diperhatikan apakah pajak untuk objek tersebut diatur dalam P3B atau tidak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun