Mohon tunggu...
A Damanhuri
A Damanhuri Mohon Tunggu... Jurnalis - Gemar bersosial dan penikmat kopi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

"Mengucapkan sebuah kata sejati, adalah mengubah dunia. Dalam kata ditemukan dua dimensi: Refleksi dan Tindakan". (Paulo Freire)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surau Mengajarkan Kita Hidup Bermasyarakat

26 Mei 2020   00:42 Diperbarui: 26 Mei 2020   00:37 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surau Lakuak Gadang Tonggak yang sudah lama berdiri dan nyaris punah dimakan usia. Surau ini direnovasi total oleh masyarakatnya dengan cara gotong royong. Ini foto sesaat sebelum dipugar sekitar tahun 2014. (foto dok facebook tomi tanbidjo)

Lazim bagi tamatan pesantren tradisional jadi guru mengaji, atau tinggal dan melakukan aktivitas di surau. Aku sehabis tamat di Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan juga sempat jadi guru mengaji. Pertama kali diminta mengajar di Kandis, Duri, Provinsi Riau.

Waktu itu aku baru saja kawin. Ada seorang pemilik rumah makan di Duri. Dia orang Kayutanam. Rumah makannya besar, tempt berhenti bus jurusan Dumai-Pariaman dan bus Pekanbaru-Medan. Nama bapak itu aku lupa. Dia minta seorang guru untuk mengajar mengaji di surau kecil samping rumah makan itu ke Lubuk Pandan.

Oleh Buya Marzuki aku yang diutus. Karena suasana besing, ramai setiap saat, cuma bertahan sebulan aku di situ. Aku permisi pulang kampung, dan tak pernah balik kesitu lagi. Habis dari Duri, aku diminta tinggal di kampung, Surau Ampang Tarok. Sebelumnya, aku dan Ajo Mansur melakukan wirid pengajian di situ seminggu sekali.

Asyik juga tinggal di kampung, Ambung Kapur. Di samping mengajar mengaji siang jelang sore, aku juga mengaktifkan shalat berjamaah tiap waktu, terutama aku sedang di surau. Lama juga aku tinggal di Surau Ampang Tarok. Dan selama tinggal di kampung, banyak wirid Ajo Mansur yang aku menjalankannya. Seperti wirid di Surau Mandiangin, Surau Kampung Tangah Barangan, dan lain sebagainya.    

Sempat pula membawa jamaah Ambung Kapur ziarah ke Koto Tuo, Kabupaten Agam dan ke Ulakan, sebagaimana lazimnya wirid Tuanku Sidi Tukang yang dijalankan Ajo Mansur. Ada dua tahun lebih aku tinggal di Surau Ampang Tarok. Banyak kesan, dan tentunya banyak pula dukanya.  Namanya saja tinggal di kampung sendiri.

Dari kampung aku pindah ke Surau Kampung Paneh, Padang Toboh Ulakan. Di sana aku lima tahun lamanya tinggal dan mengabdi. Semasa aku di kampung, kerja sambilan adalah mengantarkan koran Padang Pos, yang Pak Amir kepala perwakilannya di Pariaman.

Aku punya sebuah sepeda motor cup 70. Mengantar koran seminggu sekali, sambil pandai dan belajar juga jadi wartawan. Pindah ke Padang Toboh juga mengajar anak-anak kampung belajar mengaji.

Di Ulakan itu aku mulai tahun 2000 sampai 2005. Dan itu pula surau terakhir yang aku tunggui. Namun, ketika di Ulakan aku diperkenankan membawa urang rumah, dan disediakan tempat tinggal yang lumayanlah, yakni surau kayu lama yang dibuatkan sebuah kamarnya.

Memang, kalau untuk mencari sumber kehidupan tidak bisa diandalkan hanya tinggal di surau, yang honornya dikasih masyarakat. Kadang ada diberi, kadang sudah tiga bulan tak menerima honor. Honornyapun tak sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan.

Tapi itu semua hanya diterima apa adanya dengan baik, Lillahi ta'ala. Tinggal di surau, apalagi itu surau milik masyarakat, ya honor hanya sebagai sedekah saja. Walapun demkian, orang mengajar nengaji di surau itu tak pula pernah mogok mengajar atau melakukan demo.    

Selama di Ulakan, aku dan keluarga yang belum punya anak itu juga mempunyai sejumlah ternak itik. Tiap pagi sehabis shalat Subuh aku acap mencari keong untuk makanan itik. Dari hasil penjualan telor itik itulah aku dapat tambahan biaya keseharian, di samping juga seminggu sekali mengantar koran alias jadi loper Padang Pos.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun