Mohon tunggu...
BADRUD TAMAM
BADRUD TAMAM Mohon Tunggu... Akuntan - Dosen : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak || NIM : 55521110012 || Nama : Badrud Tamam || Universitas Mercu Buana

Dosen : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak || NIM : 55521110012 || Nama : Badrud Tamam || Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB2_Cara Memahami Peraturan Perpajakan Internasional Pendekatan Seni

27 Mei 2022   02:46 Diperbarui: 27 Mei 2022   02:51 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sehingga berbicara perpajakan internasional adalah berbicara suatu permasalahan yang rumit dan complicated karena mencakup hak pemajakan (taxing right) suatu negara. Karena masing-masing negara sangat berkepentingan terhadap kebijakan perpajakan internasional yang baik yang dipilih oleh PBB maupun OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). Hal ini disebabkan karena dalam menyusun Perjanjian Penghindaraan Pajak Berganda (Tax Treaty), maupun kebijakan Perpajakan Internasional dalam UU Domestik, ada 2 (dua) 'kiblat' yaitu : United Nations (UN) Model dan OECD Model.

Negara-negara berkembang umumnya memilih untuk menggunakan model PBB karena model ini relatif memberikan hak pemajakan yang lebih luas pada Negara sumber. Sampai saat ini, pada umumnya Negara-negara Berkembang masih banyak yang masuk dalam kategori Negara pengimpor, baik barang maupun jasa. Impor jasa, menjadi masalah yang krusial, karena eksistensinya tidak senyata impor barang. Padahal, nilai impor jasa yang dilakukan Negara-negara berkembang, jumlahnya sangat signifikan. Karena itu, Negara-negara Berkembang sangat berkepentingan dengan pengertian Permanent Establishment Karena tanpa BUT, Negara berkembang yang mengimpor jasa, tidak mempunyai hak untuk memajaki penghasilan jasa yang diterima oleh Negara pengekspor jasa. Padahal penghasilan tersebut bersumber dari Negara berkembang yang mengimpor jasa tersebut.

Untuk memudahkan dalam pemahaman tentang pajak internasional khususnya ditinjau dari Subjek dan Objek Pajak, maka dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) pandangan yaitu : 1. Taxing Inbound Income ; Pemajakan atas Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) yang memperoleh penghasilan yang bersumber dari luar negeri.

2. Taxing Outbound Income ; Pemajakan atas Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang memperoleh penghasilan yang bersumber dari dalam negeri Kita mengetahui bahwa negara memiliki kedaulatan untuk mengenakan pajak terhadap setiap penghasilan setiap individu dan terdapat "connecting factors" antara Negara dengan suatu transaksi/peristiwa ekonomi yang menimbulkan penghasilan. Dalam Undang- Undang pajak menerapkan dua prinsip berdasarkan "connecting factors" tersebut yaitu :

a. Residence Principle (Azas Residensi), Hak Negara mengenakan pajak kepada seseorang (individu atau badan) karena terdapat "personal attachment", seperti: residensi, domisili, kewarganegaraan, tempat pendirian, tempat kedudukan manajemen. (Worldwide Income)

b. Source Principle (Azas Sumber), Hak Negara mengenakan pajak kepada seseorang (individu atau badan) karena terdapat "economic attachment" yaitu penghasilan yang bersumber di Negara tersebut.

Sebagai negara yang menjalin hubungan dengan negara lain, Indonesia tidak terhindar untuk mengadakan berbagai macam transaksi seperti aktivitas impor, ekspor, serta beragam aktivitas lainnya yang masuk ke kategori kegiatan perdagangan internasional. Transaksi ini akan mengakibatkan penduduk dari salah satu negara akan memperoleh penghasilan. Atas transaksi antar negara ini maka dikenakan pajak internasional.

Indonesia juga merupakan subjek hukum internasional karena telah mengikuti dan menandatangani Konvensi Wina. Konvensi internasional memiliki kekuatan hukum yang mengikat antar negara yang ikut menandatangani kesepakatan tesebut. Oleh karena itu, jika Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), hal ini terjadi bukan saja karena keinginan dari pihak Indonesia sendiri melainkan ada asas timbal balik dan keinginan yang sama dari negara yang mengadakan perjanjian.

Berbicara tentang pajak internasional di Indonesia secara umum dapat dikatakan berlaku hanya terbatas pada subjek dan objek pajak yang berada di wilayah Indonesia saja. Dengan kata lain terhadap orang atau badan yang tidak bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia pada dasarnya tidak dikenakan pajak berdasarkan dasar hukum yang dimiliki Indonesia. Namun pajak internasional dapat berkaitan dengan subjek maupun objek yang berada di luar wilayah Indonesia sepanjang ada hubungan yang erat dalam hal terdapat hubungan ekonomi atau hubungan kenegaraan dengan Indonesia

Beberapa Permasalahan Dalam Perpajakan Internasional:

  • Transfer Pricing: Kegiatan ini adalah mentransfer laba dari dalam negeri ke perusahaan dengan hubungan istimewa di negara lain yang tarif pajaknya lebih rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan membayar harga penjualan yang lebih rendah dari harga pasar, membiayakan biaya-biaya lebih besar daripada harga yang wajar, thin capitalization (memperbesar utang dengan beban bunga untuk mengurangi laba). Misalnya: tarif pajak di Indonesia 28%, di Singapura 25%. PT A punya anak perusahaan B Ltd di Singapura, maka laba di PT A dapat digeser ke B Ltd yang tarifnya lbh kecil dengan cara B LTd meminjamkan uang dengan bunga yang besar, sehingga laba PT A berkurang, memang pendapatan B Ltd bertambah namun tarif pajaknya lebih kecil. Hal bisa juga dilakukan dengan PT A menjual rugi (mark down) barang dan jasa (harga jual di bawah ongkos produksinya) ke B Ltd. Di Indonesia, transfer pricing dicegah dalam UU PPh pasal 18 dimana pihak fiskus berhak mengkoreksi harga transaksi, penghitungan utang sebagai modal dan DER (Debt Equity Ratio).
  • Treaty Shopping: Fasilitas di tax treaty justru bukannya menghindarkan pajak berganda namun malah memberi kesempatan bagi subjek pajak untuk tidak dikenakan pajak dimana-mana. Misalnya: Investasi SBI di bursa singapura dibebaskan pajak. Treaty Shopping diredam dengan ketentuan beneficial owner (penerima manfaat) dalam tax treaty (P3B) baik yang memakai model OECD maupun PBB sehingga tax treaty hanya berlaku bila penerima manfaat yang sebenarnya adalah residen di negara yang menandatangani tax treaty.
  • Tax Heaven Countries: Negara-negara yang memberikan keringanan pajak secara agresif seperti tarif pajak rendah, pengawasan pajak longgar telah membuat penerimaan pajak dari negara-negara berkembang merosot tajam. Negara tax heaven yang termasuk dalam KMK No.650/KMK04/1994 antara lain Argentina, Bahrain, Saudi Arabia, Mauritius, Hongkong, Caymand Island, dll. Saat ini negara tax heaven sedang dimusuhi dunia internasional, pengawasan tax avoidance (penghindaran pajak) di negara-negara tersebut sedang gencar-gencarnya. Berinvestasi di negara tax heaven beresiko besar terkena koreksi UU PPh Pasal 18. Lebih baik berinvestasi pada negara dengan tax treaty

Pada umumnya, terdapat tiga tujuan utama mengapa suatu negara menuangkan ketentuan pajak internasional dalam ketentuan pajak domestik, yaitu sebagai berikut :

  • Peningkatkan Pendapatan Nasional. Fungsi utama pajak bagi suatu negara adalah untuk mengisi pundi-pundi penerimaan negara. Oleh karena itu, dalam konteks pajak internasional, suatu negara berkeinginan untuk memajaki dua situasi sebagai berikut: (i) memajaki subjek pajak dalam negerinya yang memperoleh penghasilan dari sumber yang berasal dari luar negaranya serta (ii) memajaki subjek pajak luar negeri yang mendapatkan penghasilan dari sumber yang berasal dari negaranya. Dalam konteks ini, suatu negara akan berupaya untuk mendapatkan bagian yang adil (fair share) atas klaim hak pemajakan internasional dengan tetap memperhatikan klaim hak pemajakan negara lain.
  • Kesetaraan. Prinsip kesetaraan mengatur bahwa pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh subjek pajak dalam negeri, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri, akan diperlakukan secara sama (ability to pay principle). Dalam konteks pajak internasional, suatu negara dapat menerapkan prinsip ini dengan cara menerapkan asas worldwide income bagi subjek pajak dalam negeri. Dengan penerapan konsep worldwide income ini, subjek pajak dalam negeri yang menerima penghasilan dari sumber dalam negeri diperlakukan sama dengan subjek pajak dalam negeri yang menerima penghasilan dari luar negeri.
  • Dalam konteks pajak internasional, efisiensi ekonomi merujuk pada pengembangan iklim ekonomi yang efisien, yaitu suatu desain sistem pajak internasional yang bersifat netral. Netralitas dapat dicapai jika suatu sistem pajak tidak mendistorsi pilihan-pilihan ekonomi dari subjek pajak. Terdapat dua netralitas utama yang dituju dalam kebijakan pajak internasional, yaitu capital export neutrality dan capital import neutrality

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun