Mohon tunggu...
Achyat Ahmad
Achyat Ahmad Mohon Tunggu... -

Penulis Pesantren

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengapa Muslim Harus Tampil Beda?

17 Desember 2015   09:10 Diperbarui: 17 Desember 2015   10:32 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika Nabi SAW datang ke kota Madinah, penduduk di situ biasa merayakan dua hari raya yang mereka isi dengan bermain-main dan bersukaria. Nabi SAW bertanya, “Hari apa ini?” Sahabat menjawab, “Kami bersukaria pada hari tersebut sejak masa jahiliah.” Maka Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT telah mengganti untuk kalian dua hari yang lebih baik daripada dua hari raya itu; Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Ahmad)

Maka selanjutnya kita memahami bahwa umat Islam memang dianjurkan untuk tampil beda, menyalahi ikon-ikon, simbol-simbol, dan tradisi-tradisi yang identik dengan orang-orang kafir. Ketika orang Yahudi biasa memelihara kumis dan mencukur jenggot, maka Islam mengkreasi penampilan yang sebaliknya. Ketika penyembah matahari melakukan ritual mereka pas ketika matahari terbit dan tenggelam, maka umat Islam dilarang melakukan salat pada dua waktu tersebut. Dan begitu seterusnya.

Jadi kata kuncinya adalah, dalam kaitannya dengan perbandingan agama-agama serta hubungan antar-umat beragama, yang terpenting adalah titik-titik perbedaannya, dan bukan titik-titik persamaannya. Seperti dikatakan Dr. Syamsuddin Arif, ketika kita membandingkan antara manusia dan monyet, maka yang terpenting adalah titik-titik perbedaannya. Sebab sangat tidak penting bagi kita untuk mencari titik-titik persamaan kita dengan monyet.

Tapi hari ini, saya melihat sensitifitas dan kepekaan dalam hal identitas keberagamaan seperti ini sudah luntur. Umat Islam hari ini, termasuk anak-anak yang sedang mondok di pesantren atau lulusan pesantren sekalipun, misalnya, sangat bangga memakai jersey sebuah klub sepak bola, yang di punggungnya tertulis nama orang kafir dengan ukuran font yang besar, sedang di bagian depannya tertera tanda salib, baik salib formal seperti pada logo Real Madrid, maupun salib seimbang seperti pada logo Barcelona.

Sungguh ironis, mereka memakai baju khas orang-orang kafir itu tidak hanya dalam momen-momen tertentu, seperti ketika sedang berolahraga, tapi kadang justru mereka tetap memakainya ketika sedang salat! Tentu, sangat sulit bagi kita untuk memabayangkan anomali seperti itu. Tapi bagaimanapun, itulah yang sedang terjadi hari ini. Umat Islam salat dengan pakaian khas orang kafir, menyertakan nama orang kafir, dengan logo salib, atau logo setan seperti yang tertera pada jersey klub MU.

Jika tren ber-tasyabbuh ria dengan orang kafir itu alasannya bukan karena kebodohan atau ketidaktahuan, maka barangkali penyebabnya karena mereka telah terjebak kedalam apa yang disebut sebagai kultus selebriti yang berhembus dari budaya Barat, di mana mengidolakan seorang “super star” kini memang telah menjadi semacam “agama baru” yang dianut oleh hampir semua orang – yang berkiblat pada Barat. Terkait dengan hal ini, Karen Armstrong dalam The Great Transformation menulis sebagai berikut:

“Pada masa kini, ketika kita telah meninggalkan filsafat perenial, orang secara membudak mengikuti perkembangan mode dan bahkan melakukan kekejaman pada wajah dan tubuh mereka agar dapat mereproduksi standar kecantikan saat ini. Kultus selebritas menunjukkan bahwa kita masih memuja para model yang menjadi perlambang ‘manusia super’. Orang kadang mau berpayah-payah untuk berjumpa dengan idola mereka, dan merasa melayang-layang dalam kehadiran sang idola. Mereka meniru cara berpakaian dan berperilakunya. Tampaknya manusia secara alamiah cenderung ke arah arketipal dan paradigmatik.”

Kecenderungan arketipal sebagai naluri alamiah setiap orang yang disinggung oleh Armstrong itu, meski secara sosiologis bisa diterima, namun bagaimanapun ia jelas tak selaras dengan nilai-nilai asasi dalam Islam. Itulah sebabnya kenapa setiap umat Islam diharuskan tunduk pada standar-standar baku yang telah ditetapkan dalam agama ini, baik dalam lingkup personal maupun sosial, baik dalam hubungan horizontal maupun hubungan vertikal. Karena nilai-nilai asasi dalam ajaran Islam inilah yang akan membawa umat pada kebahagiaan hakiki, sejak di dunia hingga ke alam akhirat.
Maka, kepada umat Islam yang sudah kehilangan sensitifitas dan kepekaan identitasnya dalam berbagai hal, sehingga ia sangat mudah mengidolakan orang kafir dan sangat senang berserupa dengannya, mari kita resapi wejangan yang pernah disampaikan oleh al-Habib Umar bin Hafidz, pada suatu kesempatan ketika beliau berkunjung ke Malaysia, sebagai berikut:

Alangkah disesalinya hati orang-orang di antara kita. Mereka lebih mengagungkan para pemain sepak bola dan para artis daripada para sahabat dan keluarga suci Nabi. Mereka lebih mengenal nama-nama para pemain sepak bola dan para artis daripada nama-nama para sahabat Nabi. Jika pemikiran mereka sudah demikian, maka itu akan berimbas pada tindakan, sehingga mereka akan mengikuti dan menyerupai orang-orang kafir atau orang-orang bejat…

Dari sini mestinya kita memahami, bahwa tampil beda dengan orang-orang kafir bukan saja urusan hukum lahiriah (fikih) belaka, namun juga merupakan urusan kejiwaan dan hati, yang jauh lebih prinsip dan lebih penting, sebab ia berimbas pada pola pikir, cara pandang, dan kejernihan hati seorang muslim.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun