Mohon tunggu...
Achmad Siddik Thoha
Achmad Siddik Thoha Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar dan Pegiat Sosial Kemanusiaan

Pengajar di USU Medan, Rimbawan, Peneliti Bidang Konservasi Sumberdaya Alam dan Mitigasi Bencana, Aktivis Relawan Indonesia untuk Kemanusiaan, Penulis Buku KETIKA POHON BERSUJUD, JEJAK-JEJAK KEMANUSIAAN SANG RELAWAN DAN MITIGASI BENCANA AKIBAT PERUBAHAN IKLIM. Follow IG @achmadsiddikthoha, FB Achmad Siddik Thoha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

‘Jalan Tikus’ Itu Akhirnya Memakan Korban: Kasus Jembatan Runtuh di Bogor

21 Februari 2012   03:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:24 1075
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_164091" align="aligncenter" width="620" caption="Jembatan Ambruk di Ciampea Bogor (dok. Kompas.com)"][/caption] Sore itu beberapa pengemudi motor bertumpuk di depan gerbang kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Dramaga. Saya baru saja keluar kampus untuk pulang. Ada apa gerangan? Oh, ternyata pengendara motor ini berhenti karena ada razia di depan Polsek Dramaga persis di samping Pintu Dua Kampus IPB Dramaga Kabupaten Bogor.

Saya pun ikut berhenti. Meski surat kendaraan saya lengkap, namun motor saya berplat BK (Sumatera Utara). Biasanya polisi menjadikan plat Nomor luar daerah sebagai dalih untuk menilang. Ah, tak ada salahnya berhenti sambil ngobrol dengan pengendara lain di depan kampus.

Tak lama berselang, banyak rombongan pengendara yang tadinya berhenti di depan kampus masuk ke kampus IPB di seberang kampus utama. Ternyata ada rombongan lain yang juga keluar dari kampus dalam rombongan besar. Rombongan yang keluar inilah yang membuat pengendara yang lain untuk mengikuti jejak mereka supaya lolos dari razia polisi.

Posisi razia polisi itu tak mungkin bisa dihindari oleh kendaraan yang akan melintas di jalan utama dari arah Leuwiliang menuju Kota Bogor atau sebaliknya. Pengendara motorlah yang bisa lolos dengan jalan melewati 'jalan tikus’ dan keluar di lokasi yang tidak tercegat oleh razia. Saya enggan ikut-ikutan pengendara motor yang melintas untuk menghindari razia ini, khawatir jalannya tidak aman.

'Jalan tikus’ banyak ditemukan di seputar kampus IPB seperti halnya Jembatan Cidua yang melintasi Sungai Cihideung sebagai jalan alternatif yang runtuh dua hari lalu. Jembatan Cidua terbuat dari bambu dengan panjang 20 m dan lebar 1,5 m dibangun 1995. Jembatan gantung ini menghubungkan Kampung Pabuaran Kaum, Desa Cibanteng, Kecamatan Ciampea, dengan Kampung Babakan, Desa Babakan, Kecamatan Dramaga. Melalui jembatan bambu inilah, masyarakat kampung Pabuaran Kaum Desa Cibanteng Kecamatan Ciampea melintas untuk mempersingkat jarak dari kampungnya menuju kampus IPB dan kampung sekitarnya. Pihak kampus IPB sebenarnya tak pernah mengizinkan jembatan ini dibangun karena alasan keamanan kampus. Namun IPB juga tak kuasa menahan masyarakat yang akhirnya membuat jalan-jalan tikus menuju kampus untuk bisa akses ke tempat lain melewati kampus.

Tidak hanya di Kampung Pabuaran Kaum ini jalan tikus ditemukan, puluhan jalan tikus banyak ditemukan di kampung-kampung di sekeliling IPB . Model dua pintu utama (satu pintu masuk dan satu pintu keluar) yang diterapkan IPB membuat akses kendaraan tidak leluasa memasuki kampus. Dari segi pengamanan ini memang sangat efisien, namun dari sisi kedekatan dengan masyarakat dan juga mahasiswa, ini dirasakan sebagai masalah. Mahasiswa yang tempat kosnya hanya puluhan meter jaraknya dari kampus, harus berputar sejauh 1.5 km karena akses masuk untuk kendaraan hanya bisa dilalui di pintu utama.

Masyarakat yang hidup di desa yang dilintasi oleh sungai Cihideung memang tak punya pilihan lain kecuali menyeberang sungai tersebut untuk menuju kampung sebelah yang jaraknya hanya selemparan batu. Meski sering terdengar warga yang hanyut akibat terseret arus deras Sungai Cihideung, masyarakat tetap saja melintas tanpa memakai jembatan.

Saya sendiri sering melakukan aktifitas di bantaran Sungai Cihideung, menyaksikan masyarakat lalu lalang menyeberang sungai langsung khususnya saat tidak hujan. Misalnya, masyarakat yang tinggal di Cihideung Ilir Desa Cibanteng Kecamatan Ciampea yang akan menuju ke Desa Sirna Sari Kecamatan Dramaga, mereka cukup berjalan kaki menyebrang sungai selama sepuluh menit . Bila naik kendaraan, mereka harus berputar sangat jauh dan bisa memakan waktu satu jam. Kebutuhan mendesak masyarakat akan jembatan ini sepertinya tidak bisa ditangkap oleh aparat setempat.

[caption id="attachment_164092" align="aligncenter" width="448" caption="Masyarakat menyebrang Sungai Cihideung Ciampea Bogor (dok. pribadi)"]

1329792968909571337
1329792968909571337
[/caption]

Infrastruktur untuk mobilitas masyarakat di lingkar kampus IPB sangat jauh dari bayangan saya sebagai sivitas akademika IPB. Kenyataan yang saya lihat betapa kehidupan masyarakat di lingkar kampus IPB masih jauh dari sejahtera. Kini nyawa harus melayang akibat jembatan yang dibuat masyarakat sendiri tidak berdaya melawan rapuhnya konstruksi dan hantaman arus deras di musim hujan. Semoga ini menjadi pelajaran bagi semua pihak yang bertanggung jawab. Semoga arwah korban mendapat tempat terindah di sisi-Nya.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun