Mohon tunggu...
Achmad Siddik Thoha
Achmad Siddik Thoha Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar dan Pegiat Sosial Kemanusiaan

Pengajar di USU Medan, Rimbawan, Peneliti Bidang Konservasi Sumberdaya Alam dan Mitigasi Bencana, Aktivis Relawan Indonesia untuk Kemanusiaan, Penulis Buku KETIKA POHON BERSUJUD, JEJAK-JEJAK KEMANUSIAAN SANG RELAWAN DAN MITIGASI BENCANA AKIBAT PERUBAHAN IKLIM. Follow IG @achmadsiddikthoha, FB Achmad Siddik Thoha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hikmah Liburan: Menyelami Makna Menjadi Petani

31 Desember 2012   03:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:46 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_224863" align="aligncenter" width="310" caption="Petani Sumedang Jawa Barat (Pikiran Rakyat Online)"][/caption]

Mereka berbangga hati karena mampu mencukupi kebutuhan pangan diri dan keluarganya serta umat manusia.

Hamparan sawah hijau di Desa Karyamukti Kecamatan Tomo Kabupaten Sumedang menggoda kami ingin mendekat. Di antara sawah berhektar-hektar, ada setengah hektar lahan sawah milik keluarga kami yang terletak berbatasan dengan hutan Jati. Di batas sawah, beberapa pohon mangga berumur dua tahun menambah ragam tanaman di hamparan hijau tergenang air itu.

Bulan ini jatuh pada bulan menanam padi sawah di Sumedang. Beberapa petak sawah yang sudah dibajak sudah mulai ditanam bibit padi yang beraturan bak garis hijau yang melambai gemulai. Genangan air diatas tanah liat laksana cermin yang memantulkan semangat para petani di desa ini. Pematang sawah yang tak semuanya lurus dan berundak-undak mempercantik bentukan arsitektur alam petak-petak pesawahan. Sementara pondok-pondok di tengah sawah seperti istana yang mengalirkan udara sepoi dan hamparan pemandangan indah.

Kami bertujuh, saya, istri , bapak dan empat anak saya sangat menikmati alam pedesaan dengan hamparan sawah yang masih luas. Berjalan di atas pematang yang sempit dan becek merupakan tantangan perjalanan yang mengasyikkan. Mencelupkan kaki di tanah liat tergenang air mendatangkan sensasi menyenangkan. Lalu, ketika kami menancapkan bibit demi bibit padi, terasa betapa menyenangkan bekerja sebagai petani. Menyenangkan sekaligus menghadirkan kedamaian hati karena dekat dengan alam dan berpasrah juga pada alam dan Pencipta alam.

[caption id="attachment_224864" align="aligncenter" width="448" caption="Anak-anak kampung asyik bermain di sawah di daerah Tomo Sumedang (dok. pribadi)"]

1356922923600011293
1356922923600011293
[/caption]

Setiba dari petualangan seru berkubang dengan pekerjaan “kotor” yang mendamaikan, saya mencoba mengambil ibrah atau hikmah dari pekerjaan petani. Petani, profesi tertua setelah mengumpulkan makanan dan berburu sejak hadirnya manusia di muka bumi. Petani, yang menjadi simbol bagi eksistensi bumi Nusantara yang berjuluk Negeri Agraris. Petani, yang dulu hingga kini yang di satu sisi dielu-elukan untuk mendukung kepentingan politik namun disisi yang lain diabaikan begitu saja. Petani yang di negeri ini selalu kalah dengan mafia beras saat panen tiba dan tak berkutik melawan mafia pupuk ketika mereka akan menanam kembali.

Apapun kondisi petani, saya mengagumi betul kehidupan mereka. Bukan karena keluarga istri saya semuanya petani. Tidak. Semata-mata ada filosofi hidup yang tidak mudah diteladani generasi sekarang. Filosofi yang sangat dalam bila kita mulai berkubang dan sekaligus menyelami profesi ini.

Di tangan petani nasib kebutuhan pangan kita digenggamnya. Profesi sangat vital inilah yang mendorong petani tak mudah beralih profesi hanya gara-gara godaan keuntungan materi sesaat. Meski harus berjibaku mensiasati harga produksi yang semakin tak sepadan dengan nilai produksinya, petani tetaplah kokoh menjalankan profesinya. Pekerjaan mulia yang tak sekedar memenuhi perut diri dan keluarganya, namun menjamin kebutuhan pokok umat manusia. Di titik inilah petani sanggup bertahan demi menjaga misi mulia mereka. Sayangnya, tidak banyak yang berpihak dan memperjuangkan nasib petani, terutama para pemimpin.

Petani hidup dalam kedisiplinan hidup yang sangat tinggi. Lihatlah kehidupan petani dalam 24 jam. Pagi sebelum ayam berkokok mereka sudah bangun. Di kampung istri saya, Mushola dan Masjid mengumandangkan ayat-ayat suci yang dilantunkan para petani sebelum waktu shubuh. Usai shubuh digelar, para petani bergegas mempersiapkan diri mengolah sawahnya hingga siang bahkan sore. Tak sampai larut malam, keluarga petani sudah menghentikan aktivitasnya untuk beristirahat apapun acara televisinya. Begitu seterusnya dari hari ke hari.Mereka berpikir bangun pagi lebih utama daripada menghabiskan waktu melepas lelah namun melewatkan pagi yang sangat mereka rindukan. Bagi petani, hidup dalam kedispilinan adalah karakter yang harus melekat padanya bila mereka ingin hasil yang memadai.

Petani, sosok yang tekun namun penuh penyerahan diri pada-Nya. Bagaimana tidak tekun, bekerja dengan ribuan benih dan bibit yang berukuran kecil dengan luas lahan yang tidak sempit tentu membutuhkan ketekunan. Belum lagi mengolah lahan, memupuk tanaman, menjaga padi dari serangan hama dan penyakit serta memanen hasil sesuai umurnya, tentu bukan pekerjaan sambilan dan asal-asalan. Dan setelah kerja keras dan ketekunannya, petani menyerahkan hasilnya pada Tuhan. Tuhan, Dialah yang memberinya cahaya matahari, air hujan dan tanah yang tak bisa dikendalikan petani. Hidup tidaknya tanaman sepenuhnya hasil campur tangan-Nya. Pantas saja ada yang mengatakan bahwa pekerjaan petani adalah pekerjaan dengan tingkat tawakkal (penyerahan diri) yang tertinggi dibandingkan profesi lain.

Petani adalah pekerjaan yang menyehatkan. Seluruh aktifitas petani selain juga menempa fisik yang kuat juga mendatangkan perasaan santai, nyaman dan tenang. Menjadi petani adalah pilihan hidup yang menyehatkan secara fisik, mental dan spiritual. Faktanya bisa saya rasakan dari orang-orang di kampung mertua saya yang meski berumur sudah renta namun mampu masih aktif bertani. Petani sehat fisiknya karena mereka terlatih fisiknya bangun pagi, membajak, mencangkul, menanam hingga memanen. Secara psikis setiap hari mereka begitu menimati pekerjaannnya bahkan pun saat mereka melintasi pematang sawah, dirinya merasakan keseimbangan dalam hidupnya. Kepuasan batin mereka terpenuhi dari sikap tawakkal, sabar dan bisa menikmati hasil keringan sendiri dan karunia Tuhannya. Mereka berbangga hati karena mampu mencukupi kebutuhan pangan diri dan keluarganya serta umat manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun