Mohon tunggu...
Achmad Siddik Thoha
Achmad Siddik Thoha Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar dan Pegiat Sosial Kemanusiaan

Pengajar di USU Medan, Rimbawan, Peneliti Bidang Konservasi Sumberdaya Alam dan Mitigasi Bencana, Aktivis Relawan Indonesia untuk Kemanusiaan, Penulis Buku KETIKA POHON BERSUJUD, JEJAK-JEJAK KEMANUSIAAN SANG RELAWAN DAN MITIGASI BENCANA AKIBAT PERUBAHAN IKLIM. Follow IG @achmadsiddikthoha, FB Achmad Siddik Thoha

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Bagaimana Masyarakat ‘Melawan Asap’

15 September 2015   20:18 Diperbarui: 15 September 2015   20:30 1021
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Screenshot Video youtube buatan warga Riau, #MelawanASap"][/caption]

Kami tidak diam! Video ini adalah suara keresahan dari masyarakat riau yang ikut ambil andil dalam pergerakan #MelwanAsap Video ini melibatkan Komunitas-komunitas Di riau Netizen, Masyarakat umum dan Lain lain, Kami ingin satu suara bahwa- Kami tidak ingin Asap ada lagi di Rumah kami, Riau. (Tagline video di youtube dengan judul KAMI TIDAK DIAM #MELAWANASAP)

Hari ini kabut asap tidak menunjukkan tanda-tanda akan terhapus dari wilayah Indonesia. Bahkan menurut beberapa rilis media, kabut asap hari ini sudah melintas ke Malaysi dan Singapura. Di Sumatera Selatan, tempat Presiden Jokwi Blusukan beberapa beberapa hari lalu, sepekan terakhir ini bulan Sepetember 2015  menurut pantauan Satelit NOAA-18  masih ditemukan titik panas, tertinggi di Indonesia. Di media sosial tagar #MelawanAsap terus menjadi trending topik sampai hari kemarin. Hari ini tagar “Darurat Asap” menjadi perbincangan netizen yang menduduki trending topic di twitter. Situs youtube juga menjadi kanal menyalurkan jeritan para warga yang menjadi korban bencana kabut asap. (bisa ditonton disini https://www.youtube.com/watch?v=Sct122LQMWo)

Bencana kabut asap sebagai dampak meluasnya kebakaran hutan dan lahan tak kunjung usai sejak peristiwa besar pertama tahun 1982/1983. Tahun 1997/1998 kebakaran hutan dan lahan di Indonesia  bahkan menjadi  salah satu perisiwa besar dunia, Menurut penelitian Page et al (2002) di Jurnal Internasional Nature yang berjudul “The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997” menyebutkan bahwa kebakaran lahan gambut pada tahun 1997/1998 di Indoensia menyumbangkan 13-40% emisi global.

Bencana kabut asap memerlukan perhatian dan penanganan serius, komprehensif serta melibatkan seluruh potensi bangsa. Ilmu pengetahuan, teknologi dan kearifan lokal berhubungan dengan antisipasi kebakaran hutan dan lahan ini sudah semakin lengkap dari waktu ke waktu. Sayangnya, iptek dan kearifan lokal ini masih sepintas lalu dijadikan rujukan utama dalam pengambilan keputusan. Misalnya, BMKG, sejak Bulan Juni 2015 sudah memberikan peringatan kepada semua pihak bahwa tahun 2015 di wilayah Indonesia akan terjadi peristiwa penyimpangan iklim yang dinamakan El Nino dalam skala moderat sampai kuat mulai Juli sampai November 2015. Informasi ini sudah diketahui luas terutama oleh pemerintah dari tingkat pusat sampai daerah. Namun yang terjadi di lapangan, peringatan BMKG ini seperti diabaikan sehingga upaya terhadap munculnya kebakaran hutan dan lahan sangat minim. Akhirnya, saat hujan tak kunjung datang dan kemarau semakin parah, kebakaran hutan dan lahan sulit dikendalikan.

Selain attention terhadap peringatan dari analisa ilmiah dan perangkat teknologi yang ada tentang datangnya musim kemarau yang berpotensi terjadinya kebakaran yang luas, partisipasi masyarakat juga belum dikelola sebagai bagian dari kekuatan untuk menangani kabut asap.  Kementerian kehutanan sejak tahun 2010 sudah merilis data bahwa kebakaran sudah bergeser dari yang awalnya di kawasan hutan beralih ke luar kawasan hutan. Ini juga berarti bahwa kebakaran lahan lebih dominan dalam 5 tahun terakhir ini. Areal yang terbakar saat ini banyak terjadi di lahan yang memiliki status kepemilikian dengan taraf yang berbeda. Artinya masyarakat secara langsung memiliki kepentingan yang tinggi untuk melindungi aset mereka sendiri khususnya lahan yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Dalam kajian risko bencana, adaptive capacity merupakan aspek penting dalam penentuan tingkat kerentanan suatu bencana disamping aspek keterpaparan, biofisik dan sosial ekonomi.  Aspek adaptive capacity dari masyarakat Indonesia sebenarnya cukup kuat dan mampu mengurangi tingkat kerentanan terhadap bahaya. Adaptive capacity dalam hal ini terkait dengan kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat atau daerah untuk mampu bertahan dalam kondisi bencana. Ditambah pula, masyarakat sangat berkepentingan untuk menjaga lahannya sendiri agar terhindar dari kerugian.

Bagaimana Masyarakat Bisa ‘Melawan Asap’

Masyarakat dengan potensi dan kepentingan yang besar untuk menanggulangi bencana kabut asap setidaknya bisa melakukan empat hal yaitu pelaporan, pencegahan, penanggulangan dan penanganan pasca bencana. Pelaporan bisa dilakukan oleh masyarakat baik di tempat bencana maupun yang jauh dari lokasi bencana. Pelaporan saat ini sangat efektif melalui pelaporan warga di lokasi bencana melalui penyebaran di sosial media. Pelaporan berupa perbincangan yang masif di sosial media menempatkan bencana kabut asap menjadi trending topic beberapa hari ini. Pelaporan juga perlu didukung pemberitaan massif media sehingga memiliki kekuatan menekan. Media attention yang kuat terbukti mampu menekan pemerintah dan pihak yang bertanggungjawab untuk menjalankan tugasnya secara lebih serius. Media attention dengan serbuan laporan warga melalui sosial media lebih lanjut akan berimbas pada munculnya political attention yang semakin menguat. Political attention inilah yang sangat dibutuhkan saat ini untuk mengkonsolidasi semua kekuatan untuk menanggulangi bencana kabut asap semaksimal mungkin.

Selanjutnya, kemampuan adaptif masyarakat bisa dilakukan untuk ikut melakukan pencegahan. Masyarakat tradisional memiliki pengetahuan lokal berupa local indicator tentang bahaya kebakaran lahan yang bisa diadopsi dan diperkuat menjadi community-based fire early warning system di daerah. Selain itu, aturan adat bisa diterapkan karena untuk wilayah seperti di Kalimantan aturan adat lebih berpengaruh dalam mengatur kehidupan masyarakat.

Dalam hal penanggulangan kabut asap, hampir di semua wilayah rawan kebakaran, sudah terbentuk kelompok pengendali kebakaran hutan berbasis masyarakat. Kelompok ini ada yang dibentuk dan dibina pemerintah dan ada pula yang diinisiasi oleh perusahaan dan lembaga swadaya masyarakat. Kelompok masyarakat, seperti kelompok bernama Masyarakat Peduli Api (MPA),  memiliki kemampuan dalam mengumpulkan laporan lokasi kebakaran, pemadaman dan pencegahan penjalaran api. Sayangnya, jumlah kelompok masyarakat pengendali kebakaran eksisetensinya baru sebatas pada saat kebakaran hutan dan lahan sudah terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun