Mohon tunggu...
Achmad Saefudin
Achmad Saefudin Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

"Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri" (QS. Al-Isra:7)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gerhana Rembulan Total, Rabu 31 Januari 2018

27 Januari 2018   16:52 Diperbarui: 27 Januari 2018   17:19 1466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui Lembaga Falakiyah telah mengeluarkan pengumuman prediksi bahwa pada Rabu, 31 Januari 2018, akan terjadi gerhana bulan total. Besar kemungkinannya gerhana ini akan dapat diamati di seluruh wilayah Indonesia. 

Hal yang menarik dari peristiwa ini adalah bahwa pada saat gerhana terjadi posisi bulan berada pada jarak terdekat dengan bumi, yakni sekitar 360.000 kilometer. Hal ini akan membuat bulan tampak lebih besar dan lebih terang di langit malam. Para pakar astronomi menyebutnya sebagai supermoon. 

Di negeri Cina, dahulu orang percaya bahwa gerhana terjadi karena seekor naga langit membanjiri sungai dengan darah lalu menelannya. Itu sebabnya orang Cina menyebut gerhana sebagai "chih" yang artinya "memakan". 

Di Jepang, dahulu orang percaya bahwa gerhana terjadi karena ada racun yang disebarkan ke bumi. Untuk menghindari air di bumi terkontaminasi oleh racun tersebut, maka orang-orang menutupi sumur-sumur mereka. 

Di Indonesia, khususnya Jawa, dahulu orang-orang menganggap bahwa gerhana bulan terjadi karena Batara Kala alias raksasa jahat, memakan bulan. Mereka kemudian beramai-ramai memukul kentongan pada saat gerhana untuk menakut-nakuti dan mengusir Batara Kala. 

Bagi orang-orang Quraisy di Arab, gerhana bulan dikaitkan dengan kejadian-kejadian tertentu, seperti adanya kematian atau kelahiran seseorang. Kepercayaan ini dipegang secara turun temurun sehingga menjadi keyakinan umum masyarakat di zaman itu. 

Di zaman Rasulullah SAW pun, ketika terjadi gerhana matahari yang bersamaan dengan meninggalnya putra Rasul SAW yang bernama Ibrahim, sebagian orang masih menganggap terjadinya gerhana itu karena kematian putra beliau.

Semua kepercayaan itu tak lain adalah mitos atau takhayul yang karena pengetahuan masyarakat tentang alam, khusunya bumi, matahari dan rembulan belum cukup memadai. Sebagian dari mereka bahkan masih memgang kepercayaan yang disebut animisme dan dinamisme. Lalu bagaimanakah Islam memandang fenomena gerhana ini? 

Kepercayaan-kepercayaan seperti itu diluruskan oleh Rasulullah SAW. Dalam Islam, gerhana bulan atau matahari adalah bentuk keagungan Allah sebagai Maha Pencipta sebagaimana sabda Rasullah SAW dalam sebuah hadits diriwayatkan Bukhari: 

Artinya: "Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka lakukanlah shalat gerhana." (Shahih Bukhari, 1042).

Dalam hadits tersebut ditegaskan bahwa tidak ada kaitan antara gerhana dengan meninggal atau lahirnya seseorang, baik seseorang itu dari kalangan orang-orang biasa maupun orang-orang terhormat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun