Mohon tunggu...
Achmad Ryyan Andifaprasta
Achmad Ryyan Andifaprasta Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis apa saja

Baru saja lulus kuliah, dengan predikat 'biasa aja".

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Banjir Jakarta, Salah Siapa?

27 Februari 2020   11:34 Diperbarui: 27 Februari 2020   11:35 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto via Kumparan.com

Selasa pagi (25/2/2020) ibu kota Jakarta kembali dilanda banjir yang cukup parah. Memang, setiap kali Jakarta banjir, klaim sebagai 'banjir terparah' selalu saja muncul. Namun hal tersebut wajar saja, karena banjir selalu menyerbu Jakarta setidaknya setiap musim hujan datang. Jika ditarik secara historis, banjir Jakarta memang sudah terjadi sejak era colonial. Jakarta yang menjadi pusat pemerintahan dan perekonomian kolonial. Banjir Jakarta menjadi momok yang bikin pusing setiap rezim pemerintahan, atau setiap gubernur yang menjabat.

Sampai artikel ini ditulis, banjir Jakarta telah menyebabkan 973 KK mengungsi, 41 ruas jalan terendam, rute KRL alami rekayasa, beberapa rute transjakarta tak beroperasi, kereta bandara tak beroperasi, bhakan kompleks istana sempat terdampak banjir. Pengamatan penulis dari media social, netizen banyak yang mengeluh soal daerahnya yang selama ini tak pernah terdampak banjir, namun kali ini kebanjiran.

Pertanyaan pokok soal 'apa penyebab utama banjir?' bisa jadi bermacam-macam. Hal tersebut karena kompleksitas permasalahan yang ada di Jakarta, sekaligus Jakarta harus diakui sebagai barometer perpolitikan Indonesia. Dalil yang kerap terdengar soal politik Jakarta adalah 'siapa mau kuasai Indonesia, maka kudu kuasai Jakarta'. 

Soal banjir menjadi sangat politis, ia digunakan untuk menyerang Gubernur Anies Baswedan, atau untuk menyerang Presiden Joko Wiodo. Memang pasca pemilu 2019, figur oposisi seperti diemban oleh Anies Baswedan, merapatnya Prabowo Subianto ke cabinet Joko Widodo. Dengan demikian, seolah-olah hanya ada dua mercusuar kekuasaan di negeri ini: Joko Widodo sebagai yang tertinggi, dan Anies Baswedan sebagai yang berusaha menyaingi.

Namun mari mencoba menjawab sebab-sebab banjir Jakarta dengan melepaskan belenggu-belenggu rasionalitas politik electoral. Mari kesampingkan dulu nama Anies, Basuki Tjahaja Purnama, atau Joko Widodo. Mari kita melihat dari kacamata urban dan pendekatan historis. Jakarta harus diakui telah penuh sesak, dan lahan yang semakin menipis. 

Sementara kebutuhan akan lahan terus meningkat seiring terus berkembangnya jumlah penduduk. Maka kita perlu menjawab soal bagaimana masyarakat urban Jakarta bisa tercipta? Atau bagaimana orang-orang dari luar Jakarta bisa berbondong-bondong pergi ke Jakarta dan menetap di sana? Setiap musim mudik usai, berita televisi selalu menayangkan tentang 'sweeping' yang mencegah warga non Jakarta datang dengan modal kosong.

Persoalan membeludaknya penduduk Jakarta memang menjadi pelik. Dalam jangka waktu ratusan tahun, penduduk Jakarta meningkat berlipat-lipat. Saat ini, Jakarta ditempati oleh 10 juta penduduk. Itu pun yang tercatat sebagai warga Jakarta dan belum termasuk warga non KTP Jakarta yang tinggal di sana. 

Lonjakan penduduk Jakarta dari tahun ke tahun adalah: 1870, 65000 ; 1901, 115.900 ; 1925, 290400 ; 1950, 1733000 ; 1980, 6503449 ; 2000, 8384000 ; 2011, 10187595. Jumlah penduduk terus meningkat seiring berjalannya waktu, namun lahan di Jakarta jumlahnya selalu sama. Ini menyebabkan lahan-lahan yang seharusnya dikhususkan bukan untuk kegiatan manusia, menjadi tergusur. Lahan resapan air, bantaran kali, daerah saluran air, dan trotoar jalan menjadi tempat hunian manusia.

Namun, banjir tidak bisa disimpulkan akibat jumlah penduduk. Analisis yang harus kita gunakan adalah kita perlu melihat penyebab structural daripada penyebab langsung. Sederhananya begini, penyebab langsung adalah kepadatan penduduk yang menyebabkan keterbatasan lahan serapan air atau banyak sampah yang dibuang sembarangan. Analisis penyebab structural perlu melampaui  itu, kemudian menjawab pertanyaan mengapa Jakarta menjadi penuh sesak oleh manusia, atau mengapa masyarakat memilih Jakarta sebagai tempat tinggal baru?

Mari menganalisis. Secara soft, imaji kota besar adalah perputaran capital raksasa, dimana uang (secara ilusi) akan mudah didapat. Hal tersebut dilanggengkan dengan image bangunan mewah, hidup glamor, gedung tinggi, kendaraan pribadi mengkilat, dan lain-lain, kemudian disalurkan melalui berbagai median (televise, social media, film, dsb) sehingga diterima oleh seluruh sebagian besar masyarakat Indonesia. 

Akhirnya, siapa yang gak ngiler pengen hidup di Jakarta? Imaji tersebut ber-koinsiden dengan pola terstruktur penghancuran kehidupan desa, yang merupakan antropologi umum masyarakat Indonesia. Beberapa waktu lalu, muncul kekhawatiran bahwa Indonesia akan kehilangan generasi petani karena tidak ada yang mau menjadi petani. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun