Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Turbulence" Gerakan Literasi Cap Manuk Emprit

20 Maret 2017   22:36 Diperbarui: 22 Maret 2017   05:00 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerakan membaca model dusun. Foto: Dok. Pribadi

Apabila yang dimaksud gerakan literasi adalah membaca buku, hanya membaca buku dan semata-mata hanya membaca buku—bukankah kegiatan pagi sebelum pelajaran dimulai sudah  mengajak siswa membaca buku? Apabila yang menjadi ukuran keberhasilan “indeks gemar membaca” adalah banyaknya buku yang dibaca siswa—maka gampang saja jalan keluarnya: tentukan target berapa buku yang harus dibaca siswa dalam sehari, seminggu, satu bulan dan seterusnya. Selesai.

Namun, hanya seperti itukah literasi digerakkan dan diukur standar keberhasilannya? Apa pondasi untuk membangun gerakan literasi yang sebenarnya: buku, perpustakaan, aktivitas membaca itu sendiri, cara berpikir, sikap berpikir, sudut pandang berpikir ataukah terdapat aktivitas yang lebih subtansial dari semua itu yang menunjukkan seseorang melek literasi?

Literasi Cap Manuk Emprit

Terus terang saya gemes menyaksikan “gebyar” aksi literasi tapi tidak pernah serius melacak akar persoalan yang sebenarnya, misalnya terkait cara berpikir dan konteks berpikir. Gerakan literasi yang dipahami, dibatasi, lalu dikonotasikan hanya sebagai gerakan membaca buku merupakan buah dari cara berpikir yang tidak membedakan antara melek huruf dan melek aksara.

Kita juga tidak sungguh-sungguh menemukan jawaban, apa beda antara melek huruf dan melek aksara? Padahal, akar sejarah, filosofi, muatan nilai, kontekstualitas antara huruf dan aksara memiliki perbedaan mendasar. Nenek moyang kita memang buta huruf—buta literer A, B, C dan seterusnya—namun mereka tidak buta aksara. Dominasi huruf mengatasi aksara tanpa mempertimbangkan kontinuasi akar sejarah.

Dalam konteks sebagai manusia Jawa, kita telah menjadi manusia huruf A, B, C seraya menanggalkan kesadaran sejarah sebagai manusia Ha, Na, Ca, Ra, Ka. Kita menjadi manusia “nasi’’ tapi tidak ingat sebelum nasi kita adalah manusia “beras”, “gabah”, “padi”, “sawah”—lagi-lagi kita sukses memutus kontinuasi proses sejarah diri sendiri, baik sebagai manusia Jawa maupun sebagai bagian dari sejarah panjang bangsa Nusantara.

Kata “Jawa” ini silahkan diganti misalnya Bugis, Madura, Batak dan sejumlah suku bangsa yang tersebar di negeri ini. Kita ini bangsa Garuda tapi literasi kita cap manuk emprit.

Kita menjadi sangat cemas dan gelisah menatap kenyataan Indonesia berada di urutan ke-121 negara dengan tingkat melek huruf sebesar 92,8 persen—satu tingkat saja di bawah Afrika Selatan dengan tingkat melek huruf sebesar 93 persen dan setingkat di atas Myanmar dengan tingkat melek huruf sebesar 92,7 persen. Ini berarti masih ada 7,3 persen masyarakat di Indonesia yang masih perlu bantuan orang lain untuk memahami teks tertulis.

Bulan Maret tahun lalu, Central Connecticut State University mempublikasikan riset bertajuk World's Most Literate Nations (WMLRN). Indonesia berada di posisi kedua terbawah, urutan ke-60, tepat satu tingkat di atas Botswana. Indonesia kalah dari negara-negara lain di Asia Tenggara seperti Thailand di posisi 59, Malaysia di posisi 53, atau Singapura di posisi 36.

Menatap kenyataan pahit itu kita semakin tidak percaya diri. Kita mengejar “ketertinggalan” itu bukan saja agar sejajar dengan negara lain—kita bahkan berpikir dan berbuat dengan gaya dan cara yang sejatinya bukan diri kita. Tidak percaya diri itu dikarenakan kita tidak mengerti asal usul.

Berbagai survei dan riset literasi internasional menempatkan Indonesia pada urutan buncit. Baiklah, kita harus bangkit. Persoalannya adalah bagaimana kebangkitan melek literasi itu dijalankan? Literasi tidak bisa berdiri sendiri atau dipisahkan dari aspek dan bidang kehidupan yang lain. Ngomong literasi akan terkait dengan, misalnya sistem pendidikan, model kurikulum, kualitas guru, distribusi buku pelajaran, politik pendidikan dan seterusnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun