Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mendambakan Sekolah Senyaman Kantor Google

17 September 2016   07:30 Diperbarui: 18 September 2016   13:23 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: maxmanroe.com

Ya, sekolah senyaman kantor Google. Bukan hanya kenyamanan—iklim kreatif, inovasi, tantangan memecahkan tugas belajar pun berlangsung penuh dinamika kegembiraan. Luwes, fleksibel, cair mengalir, namun penuh tanggung jawab.

Pernyataan salah satu pegawai Google yang mengakui mereka cukup dihargai sebagai pekerja, merasa dihormati sebagai manusia, bukan sebagai onderdil mekanik bisa ditransformasi menjadi sikap pandang sekolah terhadap siswa. Fasilitas yang disediakan Google menunjukkan sikap pandang perusahaan yang menghargai manusia. Sikap pandang yang lagi-lagi patut diboyong ke lingkungan sekolah.

Bukan terutama sekolah harus menyediakan fasilitas serba mewah dan mahal, melainkan menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman untuk manusia, dengan mendayagunakan sumber daya lingkungan yang tersedia.

Untuk memperoleh gambaran tentang kegembiraan pekerja Google, hasil survei menyatakan 97 persen pekerja merasa Google menghadirkan tantangan yang asyik dan menarik, suasana kerja menyenangkan, penghargaan yang apresiatif, dan komunikasi yang cair antar kolega. Tidak heran apabila 98 persen pekerja itu menyatakan bangga bekerja di Google.

Saya membayangkan iklim belajar sekolah serupa itu. Memang, sekolah tidak dihuni oleh para pekerja, namun sebagai sesama manusia, siswa memerlukan iklim, situasi, suasana belajar, yang efektivitas proses tersebut diadopsi dari lingkungan kerja sebuah perusahaan yang menggembirakan.

Mengapa sekolah perlu mengadopsi lingkungan belajar dari perusahaan yang mendesain tempat kerja menyenangkan? Tempat kerja dengan suasana yang kaku, menegangkan, dan sejumlah suasana negatif lainnya telah, menurut The American Institut, menyumbang tingkat stres pekerja sebesar 46 persen. Demikian pula dengan suasana proses belajar yang tegang dan kaku, tugas yang melebihi ambang batas kemampuan siswa, atau sejumlah tekanan akademis lainnya kerap menjadikan siswa stres.

Sejak kecil anak yang berada di bawah tekanan ekspektasi akademik dan kedisiplinan yang kelewat tinggi dari guru atau orangtua, akan tumbuh menjadi seseorang yang kurang percaya diri, selalu cemas, dan tidak bisa menerima kegagalan. Seperti ditulis KOMPAS.com, pola asuh di mana orangtua terlalu mengatur kehidupan anak semenjak mereka kecil ini di sebut helicopter parenting atau pola asuh helikopter.

Studi yang dipublikasikan dalam Journal of Personality ini menemukan sebanyak 60 persen anak yang diasuh ekstra disiplin tumbuh dengan rasa tidak percaya diri, labil, dan memiliki kritik tajam pada diri sendiri. Selain itu, peneliti juga menemukan bahwa 78 persen anak yang tumbuh dengan pola asuh helikopter, mereka tidak bisa menerima kegagalan dan selalu ingin memenuhi standar tinggi di lingkungan sekitarnya.

Studi tersebut menunjukkan lingkungan dan suasana belajar yang tidak menyenangkan, tidak humanis, tidak menghargai anak—karena ekspektasi tuntutan hasil terlampau tinggi serta—justru kontra produktif bagi hasil belajar dan masa depan anak itu sendiri. Hal serupa bisa terjadi pula di tempat bekerja. Di tengah lingkungan yang negatif itu performa siswa dan pekerja menurun tajam.

Semakin performa itu menurun, baik di kalangan siswa atau pekerja, merasa diri sebagai robot, mesin, atau onderdil mekanik semakin kuat. Sampai di sini kita bisa membayangkan apa dan bagaimana nasib masa depan siswa dan para pekerja itu. Kecintaan terhadap belajar dan bekerja akan hilang dengan sendirinya, karena mereka bukan “manusia” lagi, melainkan robot atau onderdil mekanik.

Lingkungan yang negatif dan performa belajar yang menurun itu ditandai oleh “pelecehan” nilai-nilai yang sering dipajang di dinding sekolah. Ditulis dengan huruf kapital, misalnya: Salam, Senyum, Sapa, Salim, Santun, namun perilaku guru dan siswa tidak menunjukkan 5 S tersebut. Sekolah menjadi lingkungan yang serba paradoks: perilaku keseharian tidak sesuai dengan  apa yang diciita-citakan, dicanang-canangkan, diharap-harapkan. Seakan-akan setiap siswa hidup dan berjalan menurut “program” yang diinstal ke dalam otak mereka tanpa makna kehadiran di lingkungan sekitar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun