Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Mimpi Mengganggu Stabilitas Nasional

5 November 2016   11:48 Diperbarui: 5 November 2016   20:07 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: https://ariefjuliyaman.wordpress.com/

Bulan sedang purnama—teramat sempurna. Zaman masih kecil saya bermimpi bisa berlari-lari di atas tanah permukaan bulan. Saya membayangkan siluet bayangan saya disaksikan oleh Bapak dan Ibu saya serta orang sekampung. Terkait mimpi masa kecil ini saya pernah keranjingan membaca cerita Serial Deni Manusia Ikan. Anak manusia yang tinggal di laut dan berbicara dengan segala jenis ikan. 

Saya masuk kamar mandi. Di bak kamar mandi itu ada tiga ikan mas. Wajah saya masukkan ke dalam air—berbicara dengan ikan-ikan itu layaknya Deni Manusia Ikan. Tentu saja selang beberapa menit saya megap-megap. Ah, bermimpi memang indah walau kadang terasa konyol.

Mimpi, atau khayalan masa kecil ini bukan pekerjaan anak-anak saja. Beranjak menjadi orang dewasa kita kerap menghadirkan mimpi-mimpi. Kepada suami atau istri menjelang tidur kita berbisik, “Mimpi yang indah ya.” 

Kini, di zaman digital mimpi adalah sesuatu yang bisa dijual. Buku-buku how to terkait betapa sangat penting mimpi bertebaran di rak toko buku. Mimpi menjadi kekuatan baru manusia, bukan sekadar untuk melukis masa depan—mimpi adalah masa depan itu sendiri. Buku tentang kekuatan mimpi  laris manis. Meraba esok hari pun kita memerlukan mimpi. Primbon Jawa yang menafsirkan mimpi adalah buku abadi sepanjang masa yang akan terus diburu.

Namun, mimpi tidak selalu seindah yang kita bayangkan. Di tengah situasi politik nasional yang sedang adem-panas ini mimpi menjadi sangat berbahaya. Bermimpi bisa mengganggu stabilitas nasional. Jadi, berhati-hatilah dengan mimpi-mimpi indah. Potensi menjadi kasus nasional, merugikan bangsa dan negara, mengganggu ketenteraman umum sangat terbuka ketika sekadar bermimpi kita sudah sembrono.

Adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) salah seorang rakyat Indonesia yang merasa cemas dengan mimpinya. "Mimpi saya. My dream. Dan saya punya hak konstitusi untuk bermimpi," kata SBY saat menggelar jumpa pers, Rabu (2/11) . "Mudah-mudahan mimpi saya ini tidak dilaporkan ke Presiden Jokowi—misalnya, 'mimpinya SBY itu mengganggu stabilitas nasional'. Siapapun rakyat kebanyakan, termasuk saya, jika difitnah oleh televisi, dan pelaku sosial media melanggar hukum dan etika, itu juga mendapatkan perlakuan yang sama."

Itulah beda SBY dengan saya, rakyat biasa yang menikmati hidup di alam konotasi negara bukan negara, pemerintah bukan pemerintah, presiden bukan presiden. Kita meneladani jiwa besar seorang pemimpin yang saking cintanya dengan tanah air merasa sangat perlu menata, mengkritisi, menertibkan mimpi-mimpinya sendiri. Sangat mulia niat baik itu—bahkan mimpi tersebut dimohon tidak dilaporkan kepada Presiden Jokowi. Pemimpin besar, orang besar, berjiwa besar menggerakkan rakyat cukup dengan kode atau sinyal mimpi. Mimpi SBY mengganggu stabilitas nasional!

Saya jadi berpikir ulang dengan materi mimpi saya sendiri. Saya koreksi apakah mimpi saya juga berpotensi mengganggu stabilitas nasional. Selama ini mimpi saya tentang pendidikan nasional terlalu liar, sporadis dan mengandung “bibit-bibit makar”. Padahal di tengah konotasi pendidikan nasional yang bukan pendidikan ini, saya menjaga stamina perjuangan berkat mimpi yang saya yakini tidak membahayakan stabilitas nasional.

Justru karena saya adalah rakyat biasa, biasa menjadi rakyat, terbiasa berpikir dan berperilaku sebagai rakyat, saya merdeka untuk bermimpi di tengah maraknya virus konotasi yang melakukan simbiosis mutualisme dengan dunia media sosial. Saya jamin mimpi saya aman. Tidak saya niatkan untuk mengganggu stabilitas pendidikan nasional. Toh raksasa gurita pendidikan nasional terlalu remeh menyisihkan waktu dan tenaga untuk melawan satu ekor semut seperti saya.

Menyadari posisi sebagai warga biasa, saya bersama teman-teman penggiat pendidikan di dusun Bajulmati Malang misalnya, melambungkan mimpi secara apa adanya, bukan demi ada apanya. Mengentas anak-anak dari buta aksara, mengedukasi warga supaya mampu mendayagunakan potensi dusun secara maksimal dan bijaksana, memelihara kerukunan hidup yang guyub handarbeni dengan swadaya murni menjadi perwujudan mimpi sekaligus medan perjuangan bersama.

Bersama para pengabdi guru Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ) di pelosok dusun kota Jombang, kami memiliki forum rutin tiap dua minggu dan satu bulan sekali. Tempat kegiatan berpindah dari satu dusun ke dusun lainnya. Selain terus menerus belajar bersama tentang metodologi pembelajaran Al Quran, kawan-kawan itu kini mulai merintis pelatihan menulis untuk anak-anak dusun. Kita tahu, serbuan arus digitalisasi dan media sosial kerap melemparkan kita, apalagi anak-anak, ke dalam jurang nir-objektivitas berpikir yang disebabkan oleh miskin nalar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun