Kapan menikah?
Pertanyaan itu terdengar sederhana, namun rumit dan bikin mumet untuk dijawab.
Menikah tidak semudah memesan ojek online.
Melihat harga bahan pokok yang merangkak naik, cicilan makin tidak masuk akal, dan pekerjaan yang tidak menjanjikan kepastian finansial, menikah tidak semata sebagai janji suci atau kisah cinta ala sinetron.
Kita digiring masuk dalam lingkaran pertanyaan yang sangat pragmatis: "In this economy, worth it nggak sih menikah?"
Pernikahan bukan lagi urusan dua hati yang terpaut cinta. Pragmatisme ekonomi mengemuka dan menjadi motif pernikahan.
Dua penghasilan bisa membuat hidup sedikit lebih ringan. Dalam situasi ekonomi yang tidak ramah, menikah bisa menjadi semacam "koalisi finansial."
Lantas, apakah harus pragmatis seperti itu kita menyederhanakan makna pernikahan?
Selama ini kita menempatkan cinta dan uang dalam dua ruang yang berbeda. Cinta itu suci, uang itu duniawi. Cinta itu urusan hati, uang urusan logika.
Tapi kenyataannya tidak sesederhana itu. Kita jatuh cinta, memilih pasangan, dan membangun rumah tangga dalam dunia yang diatur oleh struktur ekonomi.
Cinta tidak hadir dalam ruang hampa; ia muncul, tumbuh, dan beroperasi dalam medan sosial yang telah dibentuk oleh struktur ekonomi yang kompleks.