Menjelang hari raya ada satu fenomena yang hampir selalu berulang: sekelompok orang yang meminta jatah Tunjangan Hari Raya (THR) dari perusahaan-perusahaan. Jika permintaan mereka tidak dipenuhi, siap-siap saja mengalami gangguan.
Banyak orang menganggap kejadian ini sebagai aksi kriminal biasa. Tapi, coba kita pikirkan lebih dalam. Apakah premanisme hanya ada di jalanan?Â
Atau sebenarnya, sikap premanisme ini juga bisa kita temukan di tempat lain---di kantor pemerintahan, ruang rapat anggota dewan, bahkan di institusi hukum yang seharusnya melindungi kita?
Kenyataannya, premanisme bukan hanya soal pemalakan dan kekerasan fisik. Premanisme adalah sikap nilai, cara berpikir dan bertindak, yang bisa dilakukan oleh siapa saja---termasuk pejabat, politisi, aparat hukum, atau bahkan kita sendiri.
Premanisme bukan hanya soal siapa yang menguasai jalanan, tetapi juga siapa yang menggunakan kekuasaan untuk menekan, mengintimidasi, dan memanfaatkan ketakutan demi keuntungan pribadi atau kelompok.
Kekuasaan yang Dimainkan dengan Ancaman
Premanisme tidak selalu muncul dalam bentuk kekerasan fisik yang kasat mata, tetapi sering kali beroperasi dalam wujud ancaman dan tekanan terselubung.Â
Seorang politisi bisa saja memaksa orang-orang di sekitarnya untuk mendukungnya, bukan dengan gagasan dan kebijakan yang baik, melainkan dengan cara menekan dan mengancam.
Tekanan ini (biasanya) berbentuk suap terselubung, intervensi birokrasi, atau bahkan upaya menjatuhkan lawan politik melalui cara-cara yang manipulatif. Di sisi lain, partai politik pun kerap menerapkan sistem "politik balas dendam" di mana kesetiaan menjadi "mata uang" utamanya.
Jika seorang kader atau pejabat tidak mengikuti garis partai atau dianggap tidak tunduk pada kepentingan kelompok tertentu, karier politiknya bisa berakhir seketika.