Sarapan pagi saya terasa hambar. Curhat Mak penjual pecel bikin hati terasa njarem. Belum hilang rasa njarem itu, saya dapat kiriman video curhat orang-orang yang diisolasi di GOR Jombang.
Diwakili seseorang sebagai juru bicara, mereka melakukan video call melalui HP bersama Bupati Munjidah. Sejumlah keluhan, gugatan, sambatan disampaikan secara blokosuto, apa adanya---dan ini yang penting: tidak asal njeplak.
Kendati pakai bahasa Jawa khas nJombangan, muatan dan isi pikiran orang-orang itu jujur dan objektif. Informasi yang disampaikan bukan katanya, tapi sesuai fakta dan pengalaman selama menjalani isolasi di GOR Jombang.
Menyaksikan video itu saya tertawa sekaligus berduka, gembira sekaligus murka, bangga sekaligus prihatin, lega sekaligus tertekan oleh kenyataan betapa amburadul penanganan orang-orang yang diisolasi itu.
Tidak tega saya menuliskan fakta yang dikeluhkan orang-orang itu.
Logika protokol kesehatan yang selama ini digembar-gemborkan Pemkab dipatahkan oleh orang biasa yang mengaku dirinya: "Ya begini ini, Bu, bahasa orang tidak sekolah."
Bahkan kalau mau jujur, logika kesehatan itu sudah patah dengan sendirinya oleh inkonsistensi dan kacaunya pola komunikasi aparat kepada publik.
Kalau ada masyarakat (Jombang) mulai bertanya: "Sebenarnya ada apa dengan semua ini?" saya pikir wajar, meski jawabannya bisa mengandung cerita takhayul tentang siluman-siluman. Kisah tentang siluman ini sungguh enak dijadikan tema rasan-rasan, sambil sesekali beradu argumen, misalnya tentang popularitas vs kapasitas.
Nah, daripada pusing, mumet, sirah pecah memikirkan penanganan Corona, sebagian masyarakat memilih gowes, nyepeda sambil tertawa-tawa, menikmati "roda" kehidupan yang terus berputar.[]
Jagalan 280620 Â