Untuk yang terbaring merdeka
dirangkul sunyi nan abadi.
Baru kemarin rasanya aku mengeja isi pikiran yang engkau rangkai melalui tetes demi tetes.
Daya hidup, cinta dan kasih sayang bukan teori akademisi.
Engkau menyentuhnya dengan pena kejernihan sehingga mengalun bait-bait cinta yang menelusupi dinding keras batu-batu.
Engkau tidak menghardik tapi tersenyum mendidik. Jiwamu lentur lembut namun pilar-pilar keteguhanmu tegak menghujam bumi.
Burung kilatan cahaya bersayap Rahman dan Rahim melanglang angkasa, hinggap di halaman Rumah-Nya yang suci.
Ketika dikepung oleh berhala batu, Â engkau tidak menggunakan kapak Ibrahim untuk merobohkannya. Kelembutan hati Kinasihmu engkau bentangkan sepanjang cakrawala.
Siapa yang terjebak di sana akan tersipu lalu tertunduk malu. Berhala batu meleleh seperti lilin yang dibakar api rindu.
Tidak aku ucapkan bukan kematian benar menusuk kalbu seperti ucapan Chairil saat kehilangan nenek yang dicintainya.
Kematian bukan tragedi apalagi tangis sepanjang zaman tiada henti.
Engkau memasuki pintu keabadian, bersama cintamu yang membening di telaga Kautsar.
Hidupmu tak mengenal mati karena kemarin dan esok hari adalah kilatan 0,0000001 second rangkulan baqa' yang tidak bertepi dan berujung pangkal.
Dari sisi dunia engkau bisa menyaksikan sambil tersenyum-senyum betapa brengsek lakon sandiwara pura-pura ini.
Kendati hatimu menangis karena tak tahan melihat kebodohan itu, jalan kebijaksanaan telah engkau wariskan kepada kami, yang tertatih-tatih, terseret-seret, kejlungup-jlungup meniti tiap jengkal lika-liku lakunya.
Sementara engkau merdeka mengarungi sunyi yang sejati, kami berjuang tak habis-habis untuk sekadar mengatakan tidak di tengah peradabannya.
Kami diperdaya oleh seolah-olah, engkau dikelilingi cinta yang nyata mengejawantah.
Jagalan 200620