Ketika satu tulisan selesai saya segera melupakan tulisan itu agar tidak terpikir lagi bahwa saya pernah menulis. Saya akan mulai menulis lagi dari awal: menggali gagasan, menentukan tema, memilih kalimat paragraf pembuka dan seterusnya.
Itulah pekerjaan saya sebagai penulis pemula: memulai menulis dari awal seakan-akan belum  menghasilkan satu tulisan pun.
Motivasi menulis pun terbentuk secara alami karena saya merasa belum menghasilkan karya tulis. Menggali motivasi dari dalam---merasa belum berbuat apa-apa, belum menulis apa-apa, belum menghasilkan karya apa-apa---makin mendorong saya, atau kalau Anda sepakat dengan pandangan ini, ya kita akan semakin giat berkarya.
Ini bukan soal kita mau produktif apa tidak. Juga bukan trik psikologi agar rajin menulis.
Ini semua tentang bagaimana kita memandang diri sendiri. Namanya dialektika paradoks. Istilah ini karangan saya sendiri. Mohon maaf jika saya ngaco.
Bagaimana dialektika paradoks itu bekerja dalam kegiatan menulis?Â
Ketika saya merasa belum pernah berkarya, maka saya jadi malu dengan diri sendiri. Sudah dikasih Tuhan akal, jantung, darah, mata dan semua fasilitas kehidupan tidak dimanfaatkan sama sekali.
Maka, saya menebus hutang-hutang itu melalui menulis. Semakin merasa berhutang kepada Tuhan karena belum menghasilkan karya apapun semakin rajin saya berkarya.
Setelah menyelesaikan satu karya, segera evaluasi, dan lupakan bahwa kita telah berkarya. Hasil evaluasinya digunakan untuk memperbaiki proses berkarya selanjutnya.
Merasa menjadi manusia yang belum berguna sehingga kita pun menebusnya dengan karya-karya yang diupayakan bermanfaat, akan lebih baik daripada merasa telah berkarya, sudah menulis, berhasil menjadi penulis profesional lalu merasa hebat dan pintar.
Ojo rumongso iso, nanging iso rumongso. Jangan merasa bisa tapi bisa merasa, demikian nasihat orang Jawa.
Jika demikian bagaimana kita bisa menjadi ahli di bidang yang kita tekuni?Â