Sontak Ibnu Mubarok terbangun. Dicarinya orang yang namanya disebut malaikat dalam mimpi.Â
Apa yang telah dikerjakan Muwaffaq sehingga ia memperoleh haji yang mabrur?
Muwaffaq bercerita bahwa selama empat puluh tahun ia memendam keinginan berangkat haji. Selama itu pula ia menabung dari penghasilannya menjadi tukang sol sepatu.
Berhasil mengumpulkan 350 dirham Muwaffaq dan istrinya bersiap berangkat haji. Menjelang keberangkatan, istri Muwaffaq mencium aroma masakan yang cukup sedap. Ia pun ingin sekali mencicipi masakan itu.
Rupanya tetangga sebelah tengah memasak. Muwaffaq meminta izin agar istrinya bisa merasakan masakan itu. Namun, tetangga itu mencegahnya.
Sambil menangis tetangga Muwaffaq menjelaskan bahwa sudah tiga hari anaknya tidak makan. Ia menemukan bangkai keledai di jalan.
"Yang aku masak adalah bangkai keledai. Makanan ini tidak halal bagi Anda," ucap tetangga Muwaffaq.
Mendengar cerita tetangganya yang kelaparan Muwaffaq bergegas pulang. Ia mengambil tabungan 350 dirham yang sedianya akan dipakai untuk biaya pergi haji. Uang itu diserahkan semua kepada tetangganya.
"Belanjakan uang ini untuk kebutuhan anakmu. Inilah hajiku," kata Muwaffaq.
Tulisan ini tidak menyarankan para calon jemaah haji mengambil semua biaya haji yang sudah lunas untuk membantu sesama yang tengah "memasak bangkai keledai" akibat PHK atau kelaparan akibat pandemi.
Kendati seandainya ada di antara kita yang rela mendermakan semua uang tabungan hajinya, itu pun haqqul yakin hanya Tuhan yang bisa membalasnya.
Penundaan ibadah haji yang terasa sulit dan berat ini barangkali belum sebanding dengan kerelaan hati Muwaffaq yang menyerahkan seluruh uangnya "hanya" kepada orang lain, dan itu pun tetangganya sendiri.
Kalau pun ada seseorang yang nekat mencontoh laku Muwaffaq, kita patut waspada. Jangan-jangan ia sedang ngeprank.[]
Jagalan, 020620