Suatu pagi saya mendadak kedatangan tamu. Jumlahnya lumayan banyak. Saya bergegas ke Pasar Legi Jombang, membeli nasi pecel Mbok Tini. Dua puluh lima bungkus nasi pecel saya pesan.
"Pokoknya jangan dibeli semua," kata Mbok Tini menegaskan. "Saya beri sepuluh bungkus saja. Yang lima belas bungkus Sampean beli di penjual nasi pecel yang lain." Â
Kaget saya oleh jawaban Simbah. "Kenapa, Mbah?"
"Kalau dibeli semua, pembeli yang lain bagaimana? Kasihan mereka tidak bisa sarapan," ucapnya datar.
Nah, saya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Saya nyerah, meskipun dalam pikiran saya berkecamuk banyak hal.
Kedatangan tamu secara mendadak dalam jumlah lumayan banyak membuat saya tidak memiliki persiapan yang memadai. Saya pun melakukan "panic buying". Yang jadi sasaran adalah nasi pecel Mbok Tini.
Untungnya, Mbok Tini bukan pedagang kapitalis yang mengeruk keuntungan di tengah kepanikan saya. Ia "manusia tradisional" yang meyakini laba materi atau laba uang bukan satu-satunya keuntungan. Ia menolak dagangannya saya borong demi menjaga "stabilitas" hubungan kemanusiaan dengan pembeli atau pelanggan yang lain.
Bagi Mbok Tini berjualan nasi pecel selain sebagai ikhtiar mendapatkan rezeki, juga sebagai "metode" menjalin hubungan kekeluargaan, kemesraan, kebaikan, kebijaksanaan sesama manusia. Ia bukan sekadar pedagang nasi pecel. Mbok Tini adalah manusia yang otentik.
Karena Semua adalah Keluarga Â
Tidak bisa dibayangkan apabila panic buying itu menimpa mayoritas warga masyarakat akibat tiba-tiba didatangi tamu yang tidak kasat mata: virus SARS-Coc-2 . Sedangkan Mbok Tini-nya diperankan oleh para pedagang bermental kapitalis.
Simulasi "chaos"-nya bisa cukup beragam dan berbahaya. Barang yang dibutuhkan masyarakat tiba-tiba lenyap di pasaran. Harga kebutuhan pokok melambung. Perekonomian oleng. Serta sejumlah kondisi krisis lainnya, yang pada akhirnya berimbas pada stabilitas sistem keuangan.