Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Ojo Dumeh", Ketika Manusia Tidak Lebih Besar dari Virus SARS-CoV-2 di Tengah Jagat Semesta

27 Maret 2020   16:44 Diperbarui: 28 Maret 2020   11:33 1034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi virus corona| Sumber: Shutterstock

Ngono yo ngono, losss, tidak pakai direm adalah ekspresi budaya dari sikap serakah. Akar keserakahan adalah egoisme kita sendiri: egoisme akidah, egoisme agama, egoisme politik, egoisme ekonomi, egoisme karier.

Ngono yo ngono nanging ojo ngono adalah kesadaran terhadap relativisme. Tidak ada mutlak-mutlakan di dunia. Semuanya masih serba mungkin, semoga, mudah-mudahan. Bahasa Arabnya, la'allakum. Memakai ungkapan yang lain, ia bisa berarti "siapa tahu", "jangan-jangan", "kalau-kalau".

Foto: cnnindonesia.com (iStockphoto/spawns)
Foto: cnnindonesia.com (iStockphoto/spawns)
Ojo Dumeh!

Ukara yang semakna dengan ngono yo ngono nanging ojo ngono adalah ajo dumeh. Jangan mentang-mentang. Ini ukara posisinya koma (,) sehingga bisa dilanjutkan sendiri. Misalnya, ojo dumeh waras, ojo dumeh sugih (kaya), ojo dumeh pangkat (memiliki jabatan), ojo dumeh ngalim (pandai).

Ngono yo ngono nanging ojo ngono dan ojo dumeh mengajarkan sikap rendah hati. Kepala menunduk. Andhap asor di tengah jagat semesta. Semodern apapun pencapaian peradaban manusia, secepat apapun manusia sanggup melakukan transformasi energi, se-digital apapun teknologi melakukan revolusi dirinya, manusia tidak lebih besar dari SARS-CoV-2 di tengah jagat alam raya nan agung dan maha luas ini.

Sahabat saya menyatakan, "Jangan-jangan (nah 'jangan-jangan' lagi) keputusan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, pembangunan peradaban manusia, hingga perilaku keseharian per individu, baik bertaraf lokal, nasional hingga global, telah menjadi 'hama' yang mengganggu mekanisme 'detak jatunng' alam semesta ini."

Diperlukan antibodi yang lebih lembut untuk "melawan" hama virus itu. Sebab, faktanya, perubahan iklim, peningkatan permukaan air laut, penurunan tanah, kebakaran hutan, polusi udara yang melewati ambang batas keselamatan bernafas, ancaman kelaparan, kerusakan lingkungan---pokoknya tragedi kemanusiaan yang ditabung manusia sendiri, tidak atau hingga sejauh ini belum mengembalikan manusia pada titik keseimbangan ngono yo ngono nanging ojo ngono.

Pada perspektif ini saya sependapat dengan pandangan sahabat saya. Segala bentuk keputusan dan perilaku kita adalah sejenis virus yang mengacaukan mekanisme "kesehatan" alam semesta. Virus SARS-CoV-2 adalah virus jenis baru yang melawan sesama virus.

Sudahlah, yang penting saat ini kita masih memiliki peluang melakukan pertobatan massal. Tobat dari fanatisme kelompok dan golongan, tobat dari adigang adigung adiguna, tobat dari egoisme keserakahan.

Jangan lupa, setiap orang, setiap kelompok, setiap paguyuban politik, setiap rombongan "pedagang" yang rajin memanen kesejahteraan rakyat juga bertobat dari sikap menyepelekan ajaran nenek moyang kita sendiri yang telah berabad-abad mewariskan filosofi hidup: ojo dumeh dan ngono yo ngono nanging ojo ngono.[]

Jagalan, 27032020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun