Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Dosa Pendidikan dan Kompetensi Dasar yang Terabaikan

9 Maret 2020   01:44 Diperbarui: 9 Maret 2020   11:31 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan (Ilustrasi: kompas.id)

Cukup mencengangkan, data terbaru dari Survei Kehidupan Berkeluarga Indonesia (IFLS-5) menyatakan, prevalensi gejala depresi tertinggi di Indonesia ada pada remaja perempuan, yakni sebesar 32%. Sedangkan gejala depresi pada remaja laki-laki ada di bawahnya, yaitu 26,6%.

Saya tercenung sesaat. Pikiran saya lantas meloncat ke mana-mana: kasus bunuh diri di sekolah, pembunuhan yang dilakukan anak remaja, disfungsi keluarga, tekanan mental akibat bullying, stres tuntutan akademik, dan sebagainya.

Ini bukan sekadar nasib remaja yang hidupnya bisa berakhir tragis. Bukan pula menjawab keheranan kita terhadap pertanyaan, misalnya mengapa bunuh diri atau membunuh orang lain menjadi keputusan yang mantab dijalankan oleh anak usia remaja? Dia memperoleh bisikan wangsit dari mana? Bagaimana situasi mental psikologinya sedetik sebelum hidupnya berakhir? Apa yang berkecamuk dalam hatinya sehingga dengan enteng ia menebas nyawa korbannya?

Kita bisa mengajukan pertanyaan dari sisi yang lain. Siapakah yang menanggung dosa atas perilaku tersebut? Bukankah setiap peristiwa tidak selalu berdiri sendiri? Apa dan bagaimana konteks atmosfer lingkungan yang mengepung kehidupan para remaja sehingga mereka menjadi generasi yang gamoh, lembek dan mudah tertekan? 

Atau jangan-jangan kita turut menyumbang "virus" ketidakseimbangan, hingga mencapai titik akumulasi tertentu, lalu menciptakan kontinuasi psiko-sosial yang memuncak dan merasuki pikiran para remaja?

Sebagai upaya murojaah dan muhasabah bersama, saya khawatir kita turut menanggung dosa sosial atas semua peristiwa yang memilukan ini.

Sekolah sebagai Rumah Kedua
Beberapa waktu lalu saya menulis tentang Sekolah Ramah Anak. Ini juga tak kalah mengenaskan. Logikanya, ada sekolah yang ramah anak dan ada yang tidak ramah anak. 

Kalau ukurannya adalah penampilan kuantitatif yang ditandai pemasangan papan di depan halaman sekolah, bagaimana bukti kualitatifnya bahwa sekolah tersebut menciptakan iklim belajar yang ramah anak?

Dengan perasaan getir terpaksa saya mengajukan pertanyaan: apa dosa pendidikan yang telah kita kerjakan secara sistemik sehingga para remaja menjadi generasi yang lemah mental?

Sudah saatnya sekolah menjadi rumah kedua yang well being bagi peserta didik. Lingkungan belajar yang bukan hanya mengedepankan pencapaian akademik atau perilaku positif yang angin-anginan. Setiap sudut belajar di sekolah menjelma menjadi ruang yang mengamankan, menyelamatkan, dan ngajeni peserta didik sebagai manusia.

Aman bagi peserta didik untuk meluapkan tekanan emosi melalu model komunikasi yang menyelamatkan. Ngajeni mereka dalam setiap tahapan proses belajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun