Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Infodemics" Korona, Ketangguhan Rakyat Kecil dan Mari Tetap Bergembira

7 Maret 2020   09:18 Diperbarui: 7 Maret 2020   09:16 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: caknun.com/KC

Setelah beberapa hari menahan diri tidak menulis tentang Covid-19, pertahanan saya jebol. Saya pun mokel alias membatalkan puasa menulis korona. Bukan terutama menulis seluk beluk Covid-19, melainkan mencermati respons sebagian masyarakat yang panik akibat informasi yang silang-sengkarut.

Kepanikan itu, salah satunya, ditandai warga masyarakat yang beramai-ramai membeli masker. Stok masker tiba-tiba hilang di pasaran. Kalau pun ada harganya cukup mahal.

Menteri Perdagangan, Agus Suparmanto, mengimbau produsen agar  memprioritaskan kebutuhan dalam negeri dan tidak mengekspor masker ke luar negeri. Aksi ambil untung menggunakan aji mumpung hendaknya tidak dilakukan oleh pedagang. Masyarakat juga diminta tidak bersikap berlebihan.

Di tengah kepanikan masyarakat berburu masker, beredar pula tips praktis mencegah penularan wabah virus korona. Informasi makan bawang hingga mengonsumsi empon-empon bisa mencegah korona, mengalir deras ke tengah masyarakat.

Singkat kata, informasi yang sahih, hoaks,  bohong campur aduk. Informasi yang tidak jelas jluntrungnya cukup masif mengepung warga masyarakat. Nyaris tidak tersedia ruang dan waktu untuk sejenak saja mengambil jarak, berpikir, memilah dan memilih mana informasi yang benar dan mana yang salah.

Masyarakat kehilangan pijakan. Informasi yang berkualitas dan abal-abal jumbuh jadi satu, menjadi bayang-bayang yang mengerikan.

Situasi seperti ini tidak boleh dibiarkan menggelinding liar, tanpa kontrol tanpa batas. Ia bisa menjadi "virus" baru yang daya bunuhnya lebih cepat dari Covid-19. Masyarakat yang kehilangan kewaspadaan dan lumpuh nalar sehat akan beramai-ramai membunuh diri mereka sendiri.

Bukan hanya di Indonesia---dunia internasional juga mengalami hal serupa. Badan Kesehatan Dunia (WHO) pun turun tangan. Dunia internasional tengah dilanda infodemics. Badai informasi---atau tsunami informasi---menyapu habis bangunan berpikir akibat informasi yang akurat maupun yang hoaks menjadi susah ditemukan sumber panduan yang dapat dipercaya.

Infodemics menyasar warga masyarakat yang relatif terpelajar serta memiliki kemudahan mengakses informasi. Apakah "warga pinggiran" juga mengalami kepanikan yang sama? Dibutuhkan riset yang akurat untuk menjawabnya. Namun, berurusan dengan nyawa atau ancaman hidup, bukankah rakyat kecil memiliki pertahanan "psiko-internal" yang dahsyat?

Melalui obrolan ringan teman saya menyampaikan bahwa rakyat kecil---dan ini pasti saya dan kawan saya termasuk di dalamnya---memang mengalami kepanikan meski cuma sebentar. Setelah itu mereka akan ubet kembali, tenggelam dalam gelombang keringat mempertahankan hidup. Mereka bukan berjuang melawan Covid-19, melainkan menyambung hidup dalam arti yang sebenarnya.

Terminologi Jawa menyebut Covid-19 sebagai pageblug: wabah penyakit menular yang sangat berbahaya. Salah satu cara untuk menanggulanginya adalah melakukan ruwatan; membersihkan diri---terutama memberishkan pikiran, mental, dan batin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun