Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cucu Intelektualku, Bangkit dan Bersinergilah!

12 September 2019   01:57 Diperbarui: 12 September 2019   08:29 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: KOMPAS/JB SURATNO

"Bagi yang berusia di bawah 40 tahun, panggil saya Eyang. Bagi yang berusia di atas 40 sampai 65 tahun, panggil saya Pak Dhe. Bagi yang usianya di atas 65 tahun, panggil saya Mas," ujarnya.

Malam ini, sebenarnya saya sedang menulis polemik antara PB Djarum dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Tulisan baru setengah jalan, news feed masuk di HP saya. Presiden ke-3 RI: H. BJ. Habibie meninggal dunia. Innaalillahi wa innaa ilaihi rajiun. Semoga beliau husnul khatimah. Amin.

Tidak selang lama, seorang kawan mengirim video BJ Habibie bertajuk SDM yang Unggul untuk Kemajuan Indonesia. Saya putar sambil merasakan kekosongan yang tiba-tiba menyergap.

Saya teringat puisi Chairil Anwar, "Nisan". Bukan kematian benar menusuk kalbu/Keridlaanmu menerima segala tiba/Tak kutahu setinggi itu atas debu/Dan duka maha tuan bertakhta.

Saya nikmati pidato Eyang Habibie. Kata perkata. Gayanya. Gestur tubuhnya. Tekanan kalimatnya. Getaran optimismenya. Gairah cintanya pada ilmu pengetahuan. Pokoknya, saya ingin melahap semua.

Tak ayal, saya larut dalam tarian irama logika berpikir yang bukan saja membumi, namun juga sarat dengan sisi humanisme yang jujur.

"Bagi yang berusia di bawah 40 tahun, panggil saya Eyang. Bagi yang berusia di atas 40 sampai 65 tahun, panggil saya Pak Dhe. Bagi yang usianya di atas 65 tahun, panggil saya Mas," ujarnya.

Anak-anak muda, Generasi Milenial, Generasi Z, Generasi Alpha adalah cucu Eyang Habibie. Bahkan lebih dari itu. "Anda adalah cucu intelektual saya," tuturnya.

Sampai di sini saya menarik nafas panjang. Bangsa ini, selain kehilangan seorang maestro pesawat terbang, sang teknokrat, juga kehilangan seorang Eyang yang sangat santun dan peduli terhadap masa depan cucunya.

Kepedulian itu, salah satunya, diwariskan melalui pandangan beliau tentang tiga elemen yang mempengaruhi produktivitas seseorang

Apa tiga elemen itu? Budaya, agama dan pengetahuan tentang mekanisme ilmu pengetahuan dan teknologi. "Tiga elemen ini harus bersinergi positif," kata Habibie.

Yang menarik, sinergi positif itu digambarkan secara sederhana. "Kalau 1+1+1=3, itu normal. Tapi kalau Anda mampu menghasilkan 1+1+1=3 juta, itu sinergi positif," ungkapnya.

Ditekankan pula, kalau 1+1+1 hasilnya minus satu juta, itu namanya sinergi negatif. Menurut Habibie, kondisi itu membuat kita tidak maju selangkah pun.

Sinergi positif antara elemen budaya, agama serta ilmu pengetahuan dan teknologi, jelas sekali menunjukkan pandangan yang holistik. Sekat dikotomi antar elemen dilebur.

Inspirasi ini bisa ditransformasikan ke dalam sistem kurikulum pendidikan, baik di tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Salah satu sebab mayoritas pelajar dan mahasiswa di Indonesia berkualitas rendah adalah pendidikan mereka terkotak-kotak pada ketiga elemen itu. Ada kotak budaya, kotak agama, dan kotak teknologi yang tidak saling menyapa. Belum terjalin sinergi diantara ketiga elemen tersebut.

Akibatnya, pelajar dan mahasiswa terkurung di dalam ruangan pelajaran atau mata kuliah budaya, agama dan teknologi. Pendidikan kita belum menerapkan kurikulum berbasis lintas disiplin ilmu.

Mahasiswa yang kuliah di fakultas ilmu budaya akan sulit mengambil mata kuliah di luar fakultasnya. Mahasiswa jurusan Ilmu Al Quran dan Tafsir menjadi aneh saat mengambil mata kuliah seni atau sastra.

Yang diperlukan, untuk menafsiri tiga elemen yang dikemukakan oleh Eyang Habibie, adalah, menyinergikan antar disiplin ilmu. Pendidikan yang dibangun oleh fondasi liberal arts, sebutan lain dari kurikulum berbasis lintas disiplin ilmu, perlu menjadi tradisi pendidikan di Indonesia.

Sayangnya, pendidikan kita hanya membekali generasi muda dengan salah satu elemen itu. Padahal, spesialisasi sepihak, tanpa bersinergi dengan elemen ilmu yang lain, akan menghasilkan sarjana yang fakultatif. Belum holistik, apalagi universal, meski tempat mereka kuliah disebut universitas.

Sinergi positif merupakan hasil dari pendidikan holistik. Pendidikan yang mengajarkan "tanggung jawab sosial" yang menyebabkan kita berpikir bahwa ilmu pengetahuan tidak berkembang di ruang hampa. 

Ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan konteks sosial dan kultural, ungkap Siti Kusujiarti, guru besar sosiologi asal Indonesia yang mengajar Warren Wilson College di Amerika Serikat.

Ini baru satu pandangan Eyang Habibie, kita kedodoran menerjemahkannya. Jangankan kepada Eyang, terhadap pemikiran Ki Hadjar Dewantara saja bangsa ini belum serius memelajari apalagi mentransformasikannya ke dalam sistem pendidikan.

Kita memiliki manusia-manusia besar di setiap ruang dan waktu sejarah bangsa ini. Namun, pandangan dan ajaran mereka pada akhirnya termangu di museum sejarah. Sendu ditemani debu.

Maafkan kami, Eyang.[]

Jagalan, dinihari 120919

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun