Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bahkan di Hadapan Sebuah Buku, Kita Tidak Berdaulat

23 Agustus 2019   13:29 Diperbarui: 23 Agustus 2019   13:38 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto

Kita takut melihat pisau karena otak kita dipenuhi oleh citra negatif tentang pisau. Pisau dikutuk dan disalahkan. Sementara itu, kita lupa bahwa pisau bermanfaat untuk mengelupas kulit mangga.

Zaman saya kecil, anak-anak dilarang membaca komik Kho Ping Hoo. Kebanyakan baca Kho Ping Hoo akan berakibat bodoh di sekolah, demikian katanya. Komik menerima sentimen negatif.

Mindset yang terlanjur dilekatkan pada benda dan peristiwa tidak mudah digeser begitu saja. Begitu lama tertanam, ia akan menjadi believe system. Untuk membuktikan kebenaran atas sebuah fakta nalar sehat lumpuh dengan sendirinya. Ia dikunci oleh sikap langsung percaya.

Padahal, persoalannya tidak terletak pada pisau, buku atau bendanya. Yang salah bukan alatnya. Pisau yang tergeletak di atas meja tidak bisa dikenakan status hukum. Tindakan manusia pada benda tersebut itulah yang menentukan benar atau salah, baik atau buruk, jahat atau tidak jahat.

Semestinya, kita merdeka dan berdaulat menentukan sikap dan tindakan. Sepanjang kita bersikap waspada, nalar pikiran berjalan logis, kita olah benda dan peristiwa menjadi pengalaman yang bermanfaat. Output-nya adalah kemaslahatan bersama.

Sayangnya, mindset kita terlalu ringkih. Gampang terpengaruh. Mudah didikte oleh keberpihakan sesaat. Kita melihat fakta tidak secara apa adanya.

Citra negatif yang ditanamkan pada fakta bukannya tanpa maksud. Pasti ada "udang di balik batu". Kepentingan politik dan kekuasaan paling mudah dicurigai sebagai "udang".

Akibatnya, kita dipenjara oleh mindset kita sendiri. Tidak merdeka, bahkan di hadapan sebuah buku kita tidak berdaulat.

Tentu, ini bukan persoalan yang bermuara pada lemahnya literasi saja. Pelajaran menalar memang tidak pernah diajarkan di bangku sekolah.

Guru-guru di sekolah hanya menjejalkan teks. Siswa menghafal definisi dan rumus. Di akhir tahun siswa diuji hafalannya. Nilai mata pelajaran Matematika 100, bukan jaminan siswa mampu berpikir logis matematis.

Bahkan, mata pelajaran yang semestinya mengajarkan nalar berpikir, disampaikan dengan cara indoktrinasi. Gagasan, sikap, sistem berpikir, perilaku diberikan dalam satu paket sistem nilai. Siswa tinggal menelannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun