Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Berbuat Rasis? Musuh Kita adalah "Apa", Bukan "Siapa"

21 Agustus 2019   12:36 Diperbarui: 21 Agustus 2019   12:51 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kampanye Menolak Rasisme /suarapapua.com

Malam itu, kawan-kawan sedang ngobrol di ruang tamu rumah saya. Sambil duduk lesehan, mereka membicarakan hal apa saja. Ngalor ngidul, kata orang Jawa.

Pembicaraan menjadi serius saat seorang kawan menanyakan peristiwa kerusuhan di Papua. Rasisme kembali mengemuka.

Menurut kawan saya, rasisme telah menjadi persoalan laten kemanusiaan. Rasisme selalu berakhir dengan tragedi kemanusiaan.

Obrolan kawan-kawan malam itu menyeret pikiran saya jauh ke belakang. Saya teringat "adegan" dialog Iblis dan Adam. Iblis membangkang perintah Tuhan.  "Saya lebih baik dari Adam. Saya diciptakan dari api, Adam dari tanah. Api lebih baik dari tanah," ujar Iblis.

Iblis tidak mau sujud kepada Adam. Bahan baku penciptaan dijadikan sebagai ukuran kemuliaan. Iblis menggunakan "doktrin rasisme": api, simbol utama bahan dasar penciptaan dirinya, adalah penanda identitas bangsa-etnis.

Ini penafsiran saya untuk menunjukkan bahws praktik rasisme telah berlangsung sejak awal penciptaan.

Tidak heran, untuk meneguhkan keunggulan ras, Nazi mengesahkan UU Nuremberg tahun 1935. Teori ras Nazi menyatakan, bangsa Jerman dan bangsa Eropa utara lainnya adalah ras Arya yang unggul.

Kendati teori ras Nazi mengenai perbedaan keunggulan ras biologis di antara manusia tidak pernah terbukti kebenarannya, namun doktrin tersebut telah menorehkan luka tragedi kemanusiaan yang memilukan.

Gamblangnya, desain pluralisme yang digagas Tuhan tidak terbantahkan. Manusia memang diciptakan secara syu'uban wa qabaaila. Berbangsa-bangsa dan  bersuku-suku.

Keberagaman itu bukan terletak pada warna kulit saja. Segala aspek perangkat sosiologi, psikologi, hingga believe system setiap bangsa dan suku pasti berbeda. Keberagaman ini tidak bisa ditindas oleh etnosentrisme, xenofobia, miscegenation, atau "sekadar" stereotip terhadap satu kelompok golongan atau ras tertentu.

Yang Jawa biarlah menjadi Jawa. Yang Papua tetap jadi Papua. Yang Dayak bebas jadi Dayak. Setiap syu'ub dan qabaail memiliki fadlilah masing-masing. Fadlilah ini disalingkenalkan, di-lita'arafu-kan dikerjasamakan, disinergikan.

Rasisme terjadi manakala satu golongan melakukan klaim dirinya lebih unggul, lebih hebat, lebih mulia, lebih beradab dari golongan yang lain.

Ternyata, praktik rasisme bisa lebih luas, bahkan lebih mendasar dari urusan warna kulit. Diskriminasi yang menimpa individu maupun kelompok, mulai diskriminasi sosial hingga genosida merupakan produk dari rasisme. Ia tak ubahnya belati yang menikam jantung kemanusiaan.

Di balik "siapa" pelaku sejarah, kita selalu berhadapan dengan "apa" yang salah. Alih-alih mencermati "apa" yang salah lalu bersama-sama menemukan solusi, yang kita lecehkan adalah "siapa"-nya. Pada konteks ini rasisme gampang terjadi.

Menemukan "apa" yang salah dalam praktik hidup berbangsa dan bernegara lebih urgen dan mendesak. Adapun kepada "siapa" saja kita sodorkan cinta dan kasih sayang.

Bahkan, misalnya, kepada seorang koruptor kita perlu bersikap secara akurat. Apa yang salah dari koruptor? Mencuri uang rakyat. Siapa pelakunya? Manusia. Pada konteks ini kita tetap menghargai martabatnya sebagai manusia. Kita cintai koruptor dengan cara mengadili dan memberinya hukuman yang seadil-adilnya.

Musuh bersama kita adalah "apa" yang salah, bukan "siapa". Sebab, siapa kita sudah jelas jawabannya. Kita adalah Bangsa Indonesia.[]


Jagalan 210819

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun