Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mari Bergembira bersama Indonesia Raya

14 Mei 2019   20:53 Diperbarui: 14 Mei 2019   20:59 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menyikap tagar Indonesia Memanggil Cak Nun (#IndonesiaMemanggilCakNun), seorang teman berseloroh, "Yang memasang tagar jangan-jangan baru nglilir alias baru bangun dari tidur."

Namanya juga berseloroh, konteksnya pasti guyon, walaupun dari sudut pandang yang lain, guyonan tersebut juga menyiratkan keprihatinan sekaligus kepedihan.

Seorang kawan lain yang tak kalah ndlodok, sambil cengengesan, bertanya, "Apa benar Indonesia memanggil Cak Nun? Sejak kapan Indonesia membutuhkan Cak Nun? Atau sejak kapan Cak Nun menjadi bagian dari Indonesia? Sedangkan acara Sinau Bareng di berbagai daerah dan kota, yang tentatif maupun yang rutin, yang dihadiri ribuan orang dan mereka setia duduk lesehan di tanah lapang yang becek dan di bawah guyuran hujan--tidak pernah 'diakui' oleh Indonesia?"

Tidak pernah diakui itu maksudnya Indonesia tidak atau belum menganggap semua itu ada, minimal menjadikan Sinau Bareng sebagai "faktor" bagi eksistensi keberlangsungan Indonesia.

Yang kerap terjadi, Sinau Bareng justru menampung Indonesia. Perspektif Indonesia Bagian Dari Desa Saya, lalu diproyeksikan menjadi kesadaran Indonesia bagian dari jiwa kesadaran saya, Indonesia bagian dari Sinau Bareng bukan "tong kosong nyaring bunyinya."

Menghadapi riuh rendah kebisingan perang tagar itu, anak-anak Maiyah bisa saja mengatakan "laa ubali" alias "aku gak patheken." Ora ngurus. Namun, lihatlah, hati mereka tetap tidak tega kepada Indonesia, meskipun pada konteks yang Iain Indonesia berbuat tega kepada mereka.

Ketidaktegaan mereka kepada Indonesia ditumpahkan pada Sinau Bareng yang berlangsung dalam situasi saling mengamankan dan menyelamatkan tanpa berharap imbalan ucapan "Selamat" dari Indonesia. Tetap menjaga keseimbangan berpikir, mengayomi kebhinekaan, memangku perbedaan, merangkul keragaman, mendamaikan pertengkaran.

Semua upaya itu tidak perlu dibesar-besarkan, digagah-gagahkan, diviral-viralkan karena sejumlah hal yang akan saya sampaikan di paragraf selanjutnya.

Sinau Bareng bahkan secara terus terang "melanggar" dan "menghinakan" diri mereka sendiri. Sungguh, saya tidak mengerti sepenuhnya sikap tersebut. Padahal kita tengah dikepung oleh situasi ketika setiap orang, golongan, kelompok, lembaga bahkan sekadar status di media sosial menampilkan diri sebagai agen penyelamat masa depan bangsa.

Sinau Bareng dan Maiyah malah bersikap seperti kantong bolong: tidak merasa penting dan belum berjasa kepada Indonesia. Apakah sedekah kepada Indonesia selama ini belum mencukupi? Apakah ngaji bareng menata hati menjernihkan pikiran di berbagai pelosok dusun dan belantara kota tidak atau belum merupakan pilihan jalan cinta sehingga Indonesia cuek-cuek saja?

Untung ada Allah dan Rasulullah. Wa ilaa rabbika farghab. Hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. Dan kepada Sang Kekasih Muhammad cinta ini tertambat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun