Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Vigilantisme, Ajang Pertarungan Akibat "Wes" Merasa Benar

1 Desember 2018   00:08 Diperbarui: 1 Desember 2018   03:14 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: techdaring.com

Gara-gara menyiarkan podcast di sebuah media sosial, saya menerima hujan pertanyaan sekaligus kritikan. Banjir pertanyaan mengalir setiap hari usai saya mengulas tulisan bertema Kebenaran. Yang saya syukuri, pertanyaan dan kritikan disampaikan secara beradab. Mereka bertanya baik-baik; menyampaikan kritik secara proporsional.

Saya bersyukur. Kekhawatiran saya meleset. Media sosial yang disinyalir menjadi ajang vigilantisme (digital vigilantism)---menurut peneliti komunikasi, Daniel Trottier---pada konteks pengalaman saya, belum terbukti. Tidak semua pengguna media sosial terjebak perilaku vigilantis. Ringkasnya, masih ada "orang baik" yang menggunakan media sosial untuk tujuan dan maksud yang baik.

Kita perlu waspada agar tidak terseret arus dan terjebak "perkelahian" dikotomis. Memasang alarm logika dan kepekaan rasa untuk mencermati diskursus tentang tema dialog yang berseliweran di media sosial. 

Persaingan politik menjadi aroma paling kuat yang menyengat hidung. Semua orang---apalagi mereka yang terlibat secara praktis---nyaris memasang kaca mata politik di kepalanya.

Fenomena rebutan siapa yang benar meruncing---pihak lawan selalu dituduh salah. Yang disalahkan tidak terima, karena menilai diri mereka benar. Lalu berbalik menyalahkan pihak penuduh. Dialektika saling menyerang dan menyalahkan---seraya menilai diri atau kelompoknya adalah pihak yang benar---berlangsung secara terorganisasi menggunakan platform media sosial.

Lalu terjadilah kebenaran melawan kebenaran. Barangkali kita lupa atau terlena: kebenaran adalah versi yang ragam dan macamnya tentu bukan cuma satu. Yang rasanya manis bukan hanya gula, tapi juga madu, sirup, mangga. Atau logikanya dibalik: yang manis pasti gula. Akibatnya, klaim sepihak akan menafikan rasa manis yang bukan berasal dari gula.

"Kebenaran kok versi, bagaimana itu, Kang?" tanya sahabat yang lain.

"Kalau kebenaran bukan versi, lantas kebenaran sendiri itu apa?" saya balik bertanya.

Dalam khasanah budaya Jawa kita mengenal tiga tingkat kebenaran. Yang pertama, benere dhewe atau benarnya sendiri. Maksudnya, benar menurut versi diri sendiri. Kisah yang menarik untuk menggambarkan benere dhewe adalah manakala dua pengembara sedang tersesat di tengah gurun pasir. Dari kejauhan tampak benda berwarna hitam. Mereka mendekati benda hitam itu sambil menebak gerangan apakah itu?

"Itu pasti kerbau," kata pengembara pertama.

"Bukan, sepertinya itu burung," kata pengembara kedua.

Tiba-tiba benda itu terbang ke angkasa.

"Burung!" kata pengembara kedua.

"Kerbau!" kata pengembara pertama.

"Yang bisa terbang itu burung."

"Pokoknya itu kerbau. Bisa terbang atau tidak, itu pasti kerbau."

Pengembara pertama meyakini benere dhewe atau benar menurut versinya sendiri lalu dipaksakan kepada pengembara kedua.

Yang kedua, benere wong akeh atau benar menurut orang banyak. Orang banyak itu terkumpul dalam satuan organisasi, komunitas, paguyuban, partai politik, kubu, ormas, jam'iyyah. Atau kebenaran yang dihasilkan dari konsensus yang disepakati bersama juga masuk kategori benere wong akeh. 

Biasanya konsensus ini terikat dan diikat oleh kepentingan bersama. Soal apa kepentingannya itu lain soal.

Yang ketiga, bener kang sejati atau benar yang sejati. Kita semua tengah bergerak menuju kebenaran yang sejati. Tidak ada garis finis, karena bener kang sejati serupa cakrawala. Kita baru tiba pada tahap, yang orang Jawa mengatakan "meh" atau hampir. 

Begitu terasa hampir tiba di cakrawala, ternyata garis itu masih saja terbentang jauh di depan kita. Jadi, kita ini "meh" bener atau hampir mendekati benar menurut cakrawala benar yang sejati.

Persoalannya, terhadap kebenaran yang sejati ini kita sering bersikap "wes" atau sudah. "Wes" bener seratus persen atau sudah benar seratus persen. "Wes" berdiri di cakrawala padahal cakrawalanya berada di depan kita. 

Kita bisa melakukan riset untuk mendata perilaku "wes" dalam berbagai segi dan bidang. Karena kemungkinan yang terjadi dari perilaku "wes" atau sudah benar adalah menuduh salah kepada yang belum "wes".  

Semestinya benere dhewe dan benere wong akeh mengabdi pada pada bener kang sejati. Kesadaran individual dan komunal bergerak menuju arah cakrawala kebenaran yang sama. Kalau pun ada konsensus bukan merupakan irisan kepentingan antar individu atau kelompok, melainkan dibangun oleh kepentingan bersama sebagai bangsa.[]

Jombang, 301118

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun