Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Andai Setya Novanto Mau Bersedekah

14 Desember 2017   10:30 Diperbarui: 14 Desember 2017   10:39 1262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG

Ya. Andai Setya Novanto mau bersedekah. Tidak terutama mensedekahkan segebok dua gebok uangnya. Tidak juga mentasarufkan sebagian besar hartanya, misalnya untuk rehab gedung sekolah dasar yang atapnya bocor. Tidak pula menanggung biaya sekolah anak-anak miskin yang otaknya encer.

Andai Novanto mau bersedekah dengan menuliskan jalan gelap penuh lubang lakon hidupnya secara jujur dan terbuka. Tulisan yang akan menjadi dokumentasi yang otentik. Tentu, kalau bisa, tanpa rekayasa dan pembenaran. Tulisan yang akan dibaca dan dipelajari oleh anak cucu bangsa ini---tidak untuk menyambung estafet taktik licin bagaimana menggelapkan uang negara---tetapi untuk diabadikan oleh Bangsa Indonesia sebagai peninggalan sejarah yang maha kelam. Sejarah lakon hidup seseorang yang gagah, perlente, kinclong lalu dalam hitungan detik berubah menjadi pesakitan, kuyu, dan loyo.

Seburuk-buruk Novanto yang terancam hukuman penjara seumur hidup, ia memiliki setetes dua tetes kejernihan sebagai manusia.

Ketika nyaris seluruh martabat dan harga diri bangkrut oleh ambisi keputusannya sendiri, sesungguhnya ia sedang menemukan momentum, mungkin untuk kali yang terakhir, menyumbangkan "mata uang kejujuran" di saat ia sedang ditikam oleh belati ketidakjujuran itu sendiri. Novanto menampilkan dirinya sebagai sosok yang loyo, lemah, lunglai, dan pada saat itu ia memiliki "tenaga dalam" yang akan mubadzir apabila tidak ditulis, minimal menjadi sebuah cerpen.

Novanto dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana. Dari uraian pasal tersebut, Novanto terancam hukuman pidana penjara seumur hidup.

Bersedekah miliaran rupiah ketika sedang kaya dan berjaya itu lumrah. Bersedekah tausiah dan nasehat bijaksana ketika sedang moncer menjadi ustadz dan kiai itu sudah sewajarnya. Berteriak bahwa manusia harus cerdas, jujur, amanah karena mengincar kursi 2018 dan 2019  apa hebatnya.

Namun, menuliskan lorong gelap kejujuran di saat nyaris semua orang hilang kepercayaan kepadanya, seperti rencana ikrar taubat Pak Harto walaupun batal digelar di masjid Istiqlal, ketika tidak ada siapapun yang bisa diandalkan untuk menjadi sandaran kecuali Tuhan Yang Maha Kuasa---siapa tahu akan menjadi akhir yang baik. Husnul khatimah.

Setiap kemungkinan yang terjadi sesungguhnya tidak terbatas dan tidak bisa dibatasi oleh logika linier cara berpikir kita. Dari satu debu yang kita tahu, terdapat miliaran debu lainnya yang kita tidak mengetahuinya. Gaib dan gelap. Dari satu kasus korupsi yang ramai dibicarakan, berapa persen yang kita benar-benar tahu? Berapa persen yang kita tidak tahu? Berapa persen yang samar-samar di depan mata kita? Berapa persen yang benar-benar gelap? Berapa persen yang ainul yaqin, ilmul yaqin dan haqqul yaqin?

Persoalannya adalah kita terlanjur mudah berseberangan. Digiring dalam barisan polarisasi-polarisasi. Dimasukkan ke dalam kotak-kotak madzhab dan aliran. Dipaketkan ke dalam dikotomi-dikotomi pertengkaran. Diceraiberaikan oleh putting beliung anti, pro dan kontra. Dicekoki aroma-aroma kebenaran agar gagah saat menyalahkan.

Kita mengutuk dan mensumpah serapahi koruptor tidak karena kesadaran moral: manusia kok mencuri, melainkan semlengeren terhadap duit sak hohah, USD 7,3 juta. Yang menjadi concern kita adalah urusan materi, penampilan jasad, gerak-gerik badan yang kasat mata sehingga adegan drama sidang perdana Novanto ditampilkan sedemikian rupa untuk mengelabuhi cara berpikir kita yang malas melihat di balik yang kasat mata.

Atau, jangan-jangan Novanto sudah "bersedekah" melalui jalan dan caranya sendiri: ia tengah memasang cermin yang sangat-sangat besar agar kita berkaca: diam-diam kita memendam benih nafsu ingin kaya dan berkuasa yang sama dengannya.[]

Jombang, 14 Desember 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun