Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Organisme Sedekah vs Industri Sedekah

21 Juni 2017   03:56 Diperbarui: 22 Juni 2017   11:21 1574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adalah Rajib Thomas atau yang sering disapa Reji, lalar gawe mengadopsi 22 anak penderita HIV. Bermula dari pertemuannya dengan seorang anak penderita HIV di rumah sakit yang meminta mie kepadanya. Reji tidak membawa mie. Ia berjanji akan kembali dan membawakan mie untuk anak itu.

"Hari berikutnya saat aku kembali, anak itu ternyata sudah meninggal,” tutur Reji. “Saya hancur sekali mendengar kabar tersebut. Sejak itulah saya beryakinkan diri untuk melakukan sesuatu pada anak-anak ini.”

Divya Mithale, spesialis HIV/AIDS, menyetujui permohonan Reji yang ingin mengadopsi anak-anak itu agar tinggal bersamanya di Mumbai. Bukan awal yang mudah untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hingga donasi dari mereka yang bersimpati kepada Reji mengalir. Anak-anak penderita HIV hidup bersama keluarga baru—berbahagia dan memiliki tujuan hidup.

Pada skala berbeda, sahabat saya, Kang Junaidi dan Kang Izar, melakukan lalar gawe yang lain: mengasuh anak-anak dusun terpencil di pesisir selatan Kabupaten Malang. Tidak ada woro-woro alias pengumuman. Pengabdian terus dijalankan. Akses jalan yang sangat sulit, listrik yang belum masuk dusun, pola pikir warga dusun yang belum tersentuh pembangunan menjadi tantangan yang tidak mudah ditaklukkan.

Entah dari mana asalnya, beberapa kali kedua sahabat saya didatangi orang gila. Baik gila beneran maupun mereka yang tersesat di belantara pencarian hakekat spiritual. Orang-orang itu srawung bersama tamu-tamu “normal” lainnya.

Beberapa hari lalu saya dapat kabar, salah satu anak asuh mereka, masih sangat muda, membawa lari motor satu-satunya Kang Junaidi dan sejumlah uang. “Semoga motor dan uang yang dicuri, menjadi jalan pertaubatan bagi anak itu,” kata Kang Junaidi.

Ada jutaan orang menempuh jalan sunyi seperti Rajib Thomas, Kang Junaidi, Kang Izar. Kesulitan hidup dan keterbatasan finansial tidak mematahkan niat mereka untuk peduli dan berbagi dengan sesama. Jalan sunyi—jalan yang mereka tempuh benar-benar sunyi, sesunyi lubuk hati mereka, memelihara ketulusan niat, menegakkan tonggak komitmen. Kalaupun ada orang lain bersimpati lalu mengulurkan sejumlah bantuan, saya yakin, itu berkat hidayah Tuhan.

Saat engkau bersedekah tangan kiri jangan sampai tahu, demikian nasehat yang kerap kita terima. Mereka yang menempuh jalan sunyi itu—merawat anak-anak HIV, mempelopori pendidikan anak-anak dusun, merawat orang gila atau mereka yang tersesat jalan—dijalaninya dengan kesadaran tangan kiri jangan sampai tahu.

Biasanya mereka enggan menyodorkan proposal bantuan, karena keyakinan Gusti Allah mboten sare merasuk di kalbu. Tidak berarti mereka tidak mau dibantu—martabat dan harga diri di depan Tuhan Yang Maha Pemurah berdengung-dengung. Mereka tidak menjadi peminta-minta untuk membantu mereka yang memerlukan pertolongan.

Lantas, apakah Tuhan diam saja dan menelantarkan para pejalan sunyi itu? Pasti tidak. Sejuta simpati dan bantuan mengalir. Namun, semua itu tidak dijadikan tujuan dan aset memperkaya diri. Mereka hidup secara apa adanya, bukan karena pamrih keuntungan materi yang ada apanya.

Manusia pengabdi dan pejuang seperti mereka adalah organisme yang terus tumbuh di tengah kebudayaan industri bersedekah yang dilembagakan oleh formalisme organisasi. Organisme itu akan terlihat kecil, remeh, berserakan di hampir setiap tanah bumi Nusantara. Sementara organisasi dan lembaga sedekah akan saling berlomba meningkatkan image dan branding sebagai pihak yang layak dan paling terpercaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun