Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Muamalah Medsosiah" dan Gandrung pada Refleksi Diri Sendiri

5 Juni 2017   23:11 Diperbarui: 5 Juni 2017   23:58 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://teknologi.news.viva.co.id/

Kita tengah berada pada situasi dimana strata kualitas manusia mengalami kekaburan matapandang. Akibatnya, kita mengandalkan palu hukum daripada sikap berkeadilan. Common sense benar-benar lumpuh. Ghibah (menggunjing), fitnah (menyebarkan informasi bohong tentang seseorang atau tanpa berdasarkan kebenaran), adu domba (namimah), berita bohong (hoax), penyebaran permusuhan merupakan makanan sehari-hari, dan untuk berhenti mengkonsumsinya kita memerlukan palu bernama hukum.

Hukum, hukuman, penjara akan menjerat seseorang sebagai individu, orang per orang, walaupun kejahatan itu dikerjakan secara berjamaah. Refleksi atas kenyataan itu adalah semakin banyak orang di media sosial, dalam kultur pertarungan politik, membucah rasa egomania dan keangkuhan betapa penting dirinya tapi mengabaikan betapa pentingnya orang lain.

Egomania dan keangkuhan ini bukankah ekspresi yang memiliki akar yang sama dengan kebiasaan melakukan foto selfie? Narsis, saya pikir, bukan hanya sregep memajang foto-foto selfie---melainkan sikap egomania dan keangkuhan yang hanya bisa jatuh cinta pada pemikiran, pandangan, pembelaan diri sendiri. Gubernur-Ku, Kota-Ku, Kelompok-Ku, Agama-Ku, Pancasila-Ku---merupakan refleksi pen-tidak-an pada yang selain Aku. Kita sedang mencacah diri menjadi beribu-ribu, berjuta-juta, beratus juta Aku.

Kita tidak sedang hidup di tengah bongkahan-bongkahan Aku, melainkan bersama-sama: kami---berbhineka tunggal ika.

Itulah akhlak kebersamaan yang perlu kita raih bersama-sama. MUI sudah memulai dengan fatwa hukum bermedia sosial. Mosok kita ini terus ngendon dan selalu mengandalkan palu hukum: alat paling rendah untuk meningkatkan kualitas manusia. Akhlak kebersamaan berada di atas hukum formal. Kita tidak mencaci, tidak memfitnah, tidak memersekusi karena memang demikian akhlak bebrayan sosial. Energi untuk melakukan itu semua adalah cinta.[]

jagalan 05.06.17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun