Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Salah Asuh Memahami Karier dan Profesi

29 Mei 2017   01:37 Diperbarui: 29 Mei 2017   15:08 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://blog.talenta.co/

Jean-Philippe Michel, seorang pelatih karir yang berbasis di Ottawa, Kanada memberi saran yang patut direnungkan oleh orangtua dan pendidik generasi milenial dan generasi alfa. Menurut Michel, daripada mendorong setiap siswa untuk memilih sebuah profesi, katakanlah, dokter, guru, polisi lebih baik melatih mereka mengenai tujuan dalam sebuah profesi.

Saran Michel mengingatkan kita pada beberapa puluh tahun lalu, dimana hampir setiap orangtua dan guru di sekolah selalu bertanya: “Kalau sudah besar kamu ingin jadi apa?” Lalu dengan sigap kita menyebut salah satu profesi: dokter, tentara, guru.

Seingat saya, zaman dahulu, profesi dokter dan tentara adalah profesi favorit setiap anak. Profesi dokter mewakili kecerdasan, intelektualitas, dan status sosial mentereng. Adapun profesi tentara menggambarkan keberanian, kesanggupan berkorban demi membela tanah air, dan yang pasti—kegagahan.

Kita menyebutnya cita-cita. Orangtua akan cemas ketika anaknya tidak bisa menyebutkan cita-cita sejak kecil. Dikawatirkan ia tidak memiliki gambaran masa depan. Guru pun memberi nasehat. Gantungkan cita-citamu setinggi langit. Bagaimana cara menggapai cita-cita itu? Sekolah yang pintar. Sekolah menjadi gerbong yang mengantarkan siswa menuju cakrawala cita-cita. Tiketnya bernama ijasah.

Berpikir Solutif: Menemukan Pekerjaan Mikro

Hingga hari ini sekolah masih menjadi gerbong keramat. Ijasah masih menjadi kertas jimat. Guru masih mengajarkan cara berpikir yang linier dan text-book. Padahal “dunia” di luar sekolah sedang berlari sangat cepat—perubahan adalah keniscayaan yang harus dihadapi setiap orang. Acak. Sporadis. Tak terprediksi. Dan sekolah masih adem-ayem, sepi nyenyet seperti kuburan. Ada cuatan gejolak perubahan, tapi masih gamang, malu-malu, gagap, dan akan kembali ditindih oleh formalisme regulasi politik pendidikan.

Menawarkan cara dan sikap berpikir masa depan kepada iklim belajar di sekolah, seperti yang disampaikan Michel, bukan perkara mudah. Kita, para orangtua dan guru, belum beranjak dari berpikir mengenai pekerjaan dan karir. Sedangkan dunia membutuhkan lebih dari itu—menyiapkan masa depan adalah berpikir tentang tantangan dan masalah.

“Para siswa sekarang harus fokus mengumpulkan keahlian, dibandingkan satu profesi tertentu,” kata Jean-Philippe Michel. Masa depan tidak bisa diraih dengan sekadar menjadi profesi tertentu yang sudah diantri oleh berjuta-juta orang. Kita memerlukan cara pandang yang dilambari oleh kepedulian dan empati untuk menemukan pekerjaan mikro.

Tantangan dan masalah adalah dua “kacamata” yang bisa digunakan untuk menemukan pekerjaan mikro itu. Artinya, bekerja bukan lagi menjadi apa, tetapi menciptakan solusi apa untuk kehidupan manusia. Kita pun bisa menderet sejumlah permasalahan, mulai dari kantong plastik, asap knalpot, listrik hemat, pelecehan seksual, terorisme hingga perubahan iklim global.

Di tengah polusi udara yang menyesakkan dada, pernahkan terpikir oleh kita, misalnya menciptakan produk kemasan berisi udara segar? Di masa lalu ide ini terdengar seperti lelucon. Namun, ketika indeks polusi udara terus meningkat dan ketika setiap orang mendambakan udara segar, muncul ide memberikan udara segar—tapi tidak gratis.

Itulah yang dilakukan oleh perusahaan Vitality, yang berbasis di Edmonton, Alberta. Mereka mengumpulkan udara dari rangkaian pegunungan Bebatuan Kanada dan memampatkannya di dalam botol. Berapa harganya? Satu botol berisi delapan liter udara Kanada yang dimampatkan dan dilengkapi tutup spray dan masker khusus, digunakan untuk sekitar 160 kali bernafas—dibaderol C$32 (Rp 315.000).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun