Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mencermati Eufemisme dan "Self-cyborgification"

16 Maret 2017   00:34 Diperbarui: 16 Maret 2017   16:01 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.fastcompany.com

Akan tetapi, sayangnya, sistem pendidikan kita belum siap berhadapan dengan Zaman Mesin Kedua yang akan datang ini. Seperti petani yang berkutat di pola pikir pra-industri, sekolah dan universitas kita terstruktur untuk membentuk siswa yang menjadi budak patuh rasionalitas, dan mengembangkan keterampilan yang usang dalam berinteraksi dengan mesin yang usang pula.

(Viktor Mayer-Schonberger)

Bukan karena rasionalitas tidak penting, atau rasionalitas kini telah menjadi “barang langka” yang kehilangan jejak kontinuasi. Perilaku manusia zaman ini, di tengah laju informasi dan teknologi yang makin tak terkejar oleh rasionalitas manusia, justru merefleksikan kebutuhan untuk kembali kepada khittah rasionalitas yang sebenarnya. Namun, sedemikian pentingkah rasionalitas itu?

Jawabannya bisa ya bisa tidak, bergantung pada bagaimana makhluk rasionalitas itu dilahirkan dan difungsikan. Ketika hoax dan intoleransi merajalela, rasionalitas sembunyi di sudut kamar yang pengap dan gelap. Kenyataan yang cukup paradoks saat manusia mengumumkan dirinya: aku berpikir maka aku ada.

Eufemisme Vs Rasionalitas

Kekonyolan itu tidak berdiri sendiri. Eufemisme membungkus irasionalitas secara rapi dan indah. Rasionalitas yang memihak pada ke-gamblang-an, memihak kejelasan, memihak langkah berpikir yang terstruktur, dikaburkan oleh eufemisme. Musuh abadi rasionalitas yang membutuhkan kejelasan adalah eufemisme.

Nyawa eufemisme adalah konotasi yang dimain-mainkan oleh siapa saja—politikus, agamawan, budayawan, ekonom, pejabat, pengurus partai, padagang atau siapapun yang cara berpikirnya cacat. Orang melihat nasi tapi tidak ingat beras, padi, sawah, petani, pupuk, tanah, air dan seterusnya. Nasi hanya dilihat sebaga nasi tanpa kesadaran kontinuasi pada kenyataan sebelum nasi menjadi nasi. Lahirlah “fakta alternatif”—nasi dicabut dari konteks dan faktanya yang suci dan diperlakukan tidak sebagai nasi. Imaji konotatif itu mempermainkan nasi (denonatif) sebagai nasi (konotatif). Di sinilah eufemisme menemukan pintu masuk.

Eufemisme membombardir kita dengan kata dan bahasa yang samar. Kita bisa mengumpulkan cukup banyak kata, frase, ungkapan yang menjengkelkan, seperti tarif listrik naik sebagai tarif yang disesuaikan, memecat orang sebagai pemutusan hubungan kerja atau dirumahkan atau frase yang kaku: pengurangan jumlah staf yang berlebih.

Sufiks “de-“ dalam bahasa Inggris yang berarti menegasi telah terbukti berhasil di area ini, dari 'tidak dipekerjakan' (dehired) dan 'tidak dipilih' (deselected) saat sebuah perusahaan sedang dalam proses 'pengurangan staff' (destaff) atau 'pengurangan produksi' (degrowth), ungkap Mark Peter dalam The Hidden Danger of Euphemisms.

Berbeda dengan bahasa Jawa yang memiliki beberapa pilihan kata untuk satu aktivitas. Memukul misalnya, dalam bahasa Jawa bisa dinyatakan dengan ngantem, njotos, ngeplak, nempeleng, nggibeng. Ini bukan eufemisme—kekayaan kosa kata itu justru menunjukkan tingkat peradaban rasa dan bahasa nenek moyang kita cukup tinggi. Kekayaan kosa kita itu menuding secara akurat makna, rasa, nuansa dan fakta secara sangat gamblang. Sebuah capaian berbahasa yang dibutuhkan oleh rasionalitas.

Orang Jawa mungkin dikenal suka berbasa-basi, namun tidak dengan setiap pilihan kata atau diksi yang digunakan. Bahasa ngoko, krama, dan krama inggil menampilkan adab sosial yang selama ini malah ditalbis atau disamarkan seolah-olah bahasa Jawa menganut strukturalisme kelas.

Eufemisme lebih berbahaya dari tuduhan yang tidak sepenuhnya tepat itu. Sepotong buah pisang oleh eufemisme bisa ditampilkan sebagai durian. Lalu dimanakah rasionalitas? Ia bisa ditemukan tatkala manusia masih memelihara roso kemanusiannya, menjaga martabat dan harga dirinya sebagai manusia—bukan sebagai robot, atau—maaf, seperti hewan.

Tetap Menjadi Manusia yang Real-time

Di tengah rasionalitas manusia yang semakin kabur, sementara rasionalitas dan daya pikir mesin kecerdasan Google semakin moncer, apa yang tersisa dari keterampilan manusiawi kita?

Tertulis dalam laporan yang dibuat California Department of Motor Vehicles (DMV) pada tahun 2016, mobil tanpa pengemudi ciptaan Google telah menempuh jarak 1.023.330 km dan membutuhkan intervensi manusia 124 kali. Itu berarti satu intervensi pada setiap 8.047km mobil itu berjalan tanpa pengemudi.

Akan tetapi, yang lebih menakjubkan ialah kemajuan yang mereka capai dalam satu tahun: intervensi manusia berkurang dari 0,8 kali per seribu mil (1609,344km) menjadi 0,2, yang berarti peningkatan kinerja sebesar 400%.

Jika komputer secara cepat dan pasti sedang mengambil alih tugas dan pekerjaan yang paling manusiawi, pekerjaan yang membutuhkan rasionalitas dan kreativitas, apakah artinya sekolah yang menyiapkan siswa menjadi manusia masa depan? Apakah artinya belajar bahasa asing ketika dalam kehidupan profesional keterampilan itu mungkin bukan lagi keunggulan kompetitif, jika kita mempertimbangkan perkembangan mesin alih-bahasa real-time belakangan ini?

Kalimat Viktor Mayer-Schonberger di awal tulisan ini layak dijadikan peringatan sekaligus ungkapan sikap prihatin: sekolah masih terus menerus melakukan self-cyborgification—mentransformasi diri sendiri menjadi robot. Rasionalitas yang dihasilkan sekolah melalui self-cyborgificationdijamin pasti kalah oleh mesin kecerdasan Google.

Saya sungguh berharap pergantian kurikulum pendidikan pada setiap rezim yang berkuasa bukan eufemisme untuk mengaburkan self-cyborgificationitu. Bukan untuk menyamarkan lobang yang masih menganga dan tidak kunjung ditemukan kontinuasi sejarah peradaban bangsa Nusantara terkait model pendidikan di negeri ini. Bukan pula untuk mengelambuhi diri sendiri bahwa pendidikan kita sejatinya belum menyentuh dasar substansial karakter manusia Indonesia.

Ini bukan soal saya seorang luddite atau anti teknologi. Ini tentang bagaimana kita tidak boleh menyerah menggunakan nalar sehat, logika dan pemikiran kritis seraya menjaga kemesraan berinteraksi dengan sesama manusia. Mengolah informasi menjadi keputusan rasional tetap di tangan kita. Kontribusi inilah yang belum maksimal dicapai oleh sekolah.

Mark Peter memberi saran, kira harus memelihara jiwa kreatif, sikap spontan, bahkan ide tak rasional dalam mendidik anak-anak kita. Bukan karena ketidakrasionalan itu merupakan sebentuk kebahagiaan tak terkira, namun karena sepercik kreativitas tak logis akan melengkapi rasionalitas mesin. Hal ini akan merupakan jaminan bahwa kita selalu punya tempat dalam evolusi.

Saya sepakat dengan Peter. Namun, bagaimana dengan sekolah dan para guru yang mungkin belum kaffah membaca peta perjuangan menjadi manusia masa depan? Semoga kekhawatiran saya tidak terbukti. []

jagalan 16.03.17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun