Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Apa Kabar Revolusi Mental?

18 Desember 2016   13:28 Diperbarui: 18 Desember 2016   17:25 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://vip.kompas.com/

Ya, apa kabar Revolusi Mental? George Bernard Shaw pun menjawab, “Mereka yang tak mampu mengubah pikirannya tak akan bisa mengubah apa pun.” Revolusi mental adalah menata kembali bangunan pikiran setiap orang, setiap warga negara, setiap anak bangsa—dan satu diantara mereka adalah diri kita sendiri. Merevolusi mental dimulai dari merevolusi bangunan berpikir: cara pandang, sikap pandang, sudut pandang, materi pandang, keluasan pandang, kedalaman pandang.

Terminologi Islam menyebut orang berselimut—manusia yang bangunan berpikir diselimuti oleh selembar kain tanpa struktur. Mari bertadabur, selimut adalah selembar kain yang tidak jelas mana bagian untuk kaki mana untuk kepala. Hari ini kita memakai selimut untuk menutupi kepala yang pada hari sebelumnya pada bagian itu kita pakai untuk menutupi kaki. Di saat berbeda, selimut bisa berfungsi untuk sarung, handuk, taplak meja dan seterusnya.

Dalam posisi tidur tertentu, orang yang menyelimuti seluruh badannya akan tidak terlihat “struktur” kepala, badan, atau pantat. Selembar selimut dan fungsinya, dengan demikian, menjadi simbol yang tepat untuk menggambarkan sikap berpikir tanpa struktur.

Selimut juga bisa digunakan untuk menutupi “kebenaran” kepala seolah-olah tampak sebagai pantat. Kebenaran bisa dipasangi selimut agar dilihat sebagai kesalahan. Putih dikrukupi oleh selimut agar disangka hitam, merah sebagai kuning—bahkan yang tak berwarna diseolah-olahkan penuh warna.

Sekolah yang Masih Berselimut

Terminologi ini dapat disimulasi, misalnya fenomena sekolah yang dipasang "selimut" sehingga tampak sebagai satu-satunya jalan agar siswa menjadi manusia berpendidikan. Publik yang sepenuhnya belum melipat selimut cara berpikirnya benar-benar berpikir bahwa sekolah adalah pendidikan itu sendiri. Tidak heran para orangtua mengirim anak usia dini ke Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang praktek di lapangan menjadi Sekolah Anak Usia Dini (SAUD).

Beberapa hari lalu, di sebuah hotel di kota Malang Jawa Timur, di hadapan para Kepala Desa, penyuluh kesehatan, pengawas pendidikan saya melontarkan pertanyaan, “Siapa yang mewajibkan anak-anak kita bersekolah? Apakah sekolah itu wajib? Padahal mereka boleh lho tidak bersekolah. Yang wajib adalah jangan sampai anak-anak kita tidak belajar. Anak-anak harus memperoleh pendidikan, dan salah satunya adalah bersekolah. Jadi, sekolah adalah salah satu wadah dan ruang bagi anak untuk belajar.Yang “salah satu” itu jangan “diselimuti” menjadi “satu-satunya” wadah pendidikan, sehingga sekolah menjadi satu-satunya jalan yang wajib ditempuh.”

Ironi adalah ketika sekolah—institusi yang secara filosofis dan moral bertanggungjawab menyingkap selimut berpikir—justru menampilkan fenomena sebagai “kaum” berselimut. Hingga hari ini saya belum paham pada sebuah tagline promosi yang dipasang besar-besar oleh sekolah yang dikenal elit. Pada baliho besar itu tertulis: “Everywhere is school…” Kekacauan berpikirnya adalah sekolah yang menjadi bagian dari proses pendidikan diposisikan sebagai “ruh” yang “bertajali” di setiap tempat (everywhere). Sekolah dikonotasikan atau dipasang selimut seolah-olah lebih esensial dari pendidikan itu sendiri. Sedangkan tradisi materialisme yang mengikis dan mencekik sekolah belum sepenuhnya tuntas disadari—bahkan oleh stakeholder sekolah. Belum lagi kekacauan berpikir tentang praktek belajar di sekolah yang justru merajam keutuhan siswa sebagai manusia.

Alam memberikan banyak pelajaran dan pengalaman yang Anda tidak pernah mendapatkan di sebuah ruangan kotak kecil bernama sekolah. Everywhere is school adalah kesombongan “kaum berselimut” yang menempatkan sekolah tidak pada “maqam” semestinya. Bukankah ini kekacauan berpikir yang fatal?

Lima Program Strategis Revolusi Mental

Optimisme sedang menyelimuti saya ketika akar persoalan yang sesungguhnya semakin tampak. Revolusi mental merupakan agenda peradaban—bukan sebatas jargon pemerintah atau partai politik yang sedang berkuasa—dan dimulai dengan merevolusi cara berpikir kita terkait pendidikan, keluarga dan sekolah.

Gerakan nano yang pernah saya sebut sebagai pendidikan lubang semut adalah kerja jangka panjang dan dimulai dari ruang lingkup paling kecil dan paling dekat dengan sejumlah pengkondisian cara berpikir yang bebas dari selimut. Mereka yang berdiri tegak dan memberikan peringatan, ajakan, himbauan, tawaran solusi adalah mereka yang telah mencampakkan selimut. Aplikasi gerakan yang ditawarkan terhindar dari terminologi solusi mendatangkan polusi, seperti nyanyian Jawa: Eee...dayohe teko.

Dan mari kita menatap kenyataan dan fenomena di sekitar kita secara apa adanya. Virtual Interaktif Kompas menampilkan catatan:

  1. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), Republik ini diduga menderita kerugian Rp 31,077 triliun akibat tindakan pidana korupsi sepanjang 2015.
  2. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menyatakan, dalam sehari timbunan sampah di Indonesia mencapai 175.000 ton atau setara 64 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, tantangan terbesar pengelolaan sampah ada pada penanganan sampah plastik.
  3. Data Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri menyebutkan, pada 2014 terjadi 85.756 kecelakaan yang merenggut nyawa 26.623 orang. Lalu, selama Januari-Juni 2016, terjadi 51.917 kecelakaan dengan 10.881 korban jiwa, merujuk data yang sama. Diam-diam, jalanan sudah menjadi "pembunuh massal", setiap hari.
  4. Suatu negara diyakini akan maju perekonomiannya, bila jumlah pengusaha juga makin banyak. Namun, nyatanya 4,125 juta orang saja atau setara 1,65 persen warga Indonesia menjadi pengusaha per 2014.
  5. Tak kurang dari 1.300 suku tercatat tinggal di Nusantara. Sensus mendapati, 79,45 persen penduduk Indonesia masih menggunakan bahasa daerah untuk percakapan harian.

Lima program strategis pun dijalankan, yakni Indonesia Melayani, Indonesia Bersih, Indonesia Tertib, Indonesia Mandiri, Indonesia Bersatu. Substansi perilaku dari lima program tersebut adalah gemar melayani, menjaga kebersihan lingkungan, berperilaku tertib, dan bersatu dalam perbedaan. Dimanakah kelima bibit perilaku itu ditanam? Tentu jawabnya adalah di keluarga dan sekolah.

Program pemerintah tersebut memang bersifat top-down. Tidak apa-apa, selama kita sanggup mengimbangi dengan gerakan down-top, misalnya melakukan gerakan se-nano apapun yang mengacu pada salah satu dari lima program strategis tersebut. 

Di pelosok dusun saya kerap “memprovokasi” penggiat pendidikan agar menanam bibit pemberdayaan dan gerakan edukasi yang khas dusun mereka sendiri. Satu yang sangat kita harapkan dari pemerintah khususnya terkait pendidikan: ciptakan iklim yang kondusif agar bibit pemberdayaan dan gerakan edukasi ini tidak terbentur tembok formalisme birokrasi yang kerap “makan ati”.

1.300 suku di Nusantara minimal akan memancarkan 1300 mozaik warna peradaban yang ditanam melalui ladang pendidikan. Harmoni warna peradaban yang hidup bersama di rumah bernama Indonesia. Alangkah indah. []

rumah ngaji 181216

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun