Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Maiyah dan Rasa Pendidikan Nasional yang "Nano-nano"

3 Desember 2016   02:02 Diperbarui: 5 Desember 2016   15:30 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://news.okezone.com/

Hari Guru Nasional boleh lewat. Berbagai ungkapan rasa haru dan hutang atas jasa guru ditindih persoalan baru yang tak kalah gaduh. Dan persoalan apapun di Indonesia bisa menjadi darurat: darurat narkoba, darurat tawuran remaja, darurat hamil di luar nikah, darurat kemiskinan, darurat makar. Hingga hari ini problem mendasar tentang guru pun bukan sekadar darurat profesionalisme—kebutuhan jumlah guru benar-benar sedang darurat.

Pada 2015 lalu Indonesia kekurangan jumlah guru sekitar 520 ribu guru. Jumlah ini akan terus bertambah karena pada 2018 hingga 2023 ribuan guru yang sudah sepuh usia akan pensiun. Jumlah kekurangan guru ini belum menghitung satu guru yang secara ideal melayani 25 siswa. Padahal tidak sedikit satu kelas pembelajaran diisi 30 hingga 40 siswa.

Belum lagi kita menghitung kebutuhan guru sekolah kejuruan. Program pendidikan vokasi sekolah kejuruan membawa “dampak” pada penambahan 341 SMK baru. Program penambahan sekolah kejuruan tidak pernah sebanyak itu karena rata-rata pemerintah membuka 25 SMK baru tiap tahun.

Darurat jumlah kebutuhan guru semakin membuat hati kita miris ketika menyaksikan fakta pendidikan di pelosok. Kawasan yang dikenal 3T: terdepan, terluar dan tertinggal itu benar-benar terdepan dalam besarnya kekurangan guru. Benar-benar terluar dalam rendahnya akses pemenuhan kebutuhan guru. Benar-benar tertinggal dalam rendahnya mutu layanan pendidikan.

Pemerintah siap menerjunkan sekitar 3.000 guru di pelosok kawasan 3T. Namun, siapa sanggup bertahan selama bertahun-tahun bahkan mengabdikan hidup selamanya di kawasan 3T? Selera hidup materialisme tidak akan berjodoh dengan pola hidup mengabdi. Alasan klasik adalah guru juga manusia—dengan penekanan intonasi yang sarat dengan getaran materialisme.

Menyelesaikan persoalan guru—mulai rendahnya loyalitas, komitmen, profesionalisme hingga kesejahteraan—nyaris menimbulkan kegaduhan. Masih lekat di mata kita fakta bahwa sertifikasi guru yang gegap gempita itu seakan menjadi rezeki nomplok bagi para guru. Yang terutama diincar adalah besaran tunjangan sertifikasi guru. Adapun substansi pendidikan dalam proses sertifikasi guru kerap terhijab oleh angan-angan bisa kaya berkat tunjangan.

Bukan pemandangan aneh ketika menjelang hari terakhir pemberkasan sertifikasi, proses belajar diserahkan sepenuhnya kepada siswa alias jam kosong. Tidak tampak gelagat bahwa jam kosong itu adalah “penistaan” terhadap hakekat dan peran guru yang sebenarnya. Kebiasaan seperti itu lama-lama dianggap wajar dan lumrah.

Baiklah, kita mungkin mengelak bahwa kejadian seperti itu bersifat kasuistik dan berskala lokal. Namun, apakah tidak muncul kecemasan dalam hati kita bahwa yang kasuistik dan lokal itu akan mewabah dan menjadi “gerakan jam kosong” yang secara moral pendidikan tidak lagi dianggap sebagai penistaan? Loyalitas para guru itu ditujukan kepada negara, pemerintah, dinas pendidikan setempat, yayasan, sekolah, siswa, orangtua siswa ataukah terserah kepada siapa yang penting memberi keuntungan dan kenyamanan secara materi?

Pendidikan yang Bergerak ke Dalam
Beberapa waktu lalu Nurshomad Kamba menyampaikan tiga catatan penting terkait esensi pendidikan yang dikembangkan Maiyah. Pertama, Maiyah melakukan transformasi berpikir. Cak Nun sering wanti-wanti agar tidak terjebak dalam cara dan sikap berpikir yang cupet. Pada berbagai kesempatan Cak Nun melakukan simulasi bagaimana memandang “objek” berpikir secara siklikal—gabungan gerakan liner dan putaran. Tidak terjebak dalam dikotomi, karena pada hakekatnya hidup ini begitu luas, dalam, berlapis-lapis dan sarat dengan lipatan-lipatan.

Kedua, menurut pria yang kerap disapa Syekh Nurshomad, Maiyah menawarkan kesejatian. Kita diajak bukan hanya peka melihat dan menyikapi fenomena di sekitar, melainkan memasuki, menukik, menyelam ke dalam samudera kesadaran diri. Proses yang tiada pernah menemukan garis finish karena begitu dalam dan lembut semesta diri setiap manusia.

Masing-masing pribadi berdaulat untuk menemukan kawruh dirinya masing-masing dengan tidak mengandalkan tembung jare, katanya-katanya, apalagi berita hoax alias palsu. Panca indra dan akal aktif menyerap dan mengolah fenomena. Namun, ia harus menetes sebagai kawruh pribadi yang membuat sang pelaku memiliki keluasan dan kedalaman sikap, semakin arif, sabar, toleran, mengayomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun