Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berburu Eksistensi, Jangan Berakhir Bunuh Diri

15 September 2016   00:15 Diperbarui: 15 September 2016   03:57 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pixabay, Hastywords

Malam itu, sayup-sayup kami mendengar suara lolong anjing Pak Kor. Betapa bahagianya anjing itu. Ah, kebahagiaan memang gampang menimbulkan cemburu.

Karena itulah, betapa kami kaget dan nyaris tak percaya, ketika mendengar kabar anjing Pak Kor mati bunuh diri. Baru kali ini kami mendengar ada anjing bunuh diri. Kalau pun itu benar terjadi, kami tak habis pikir, kenapa anjing itu mesti bunuh diri padahal hidupnya begitu bahagia?

Cuplikan Cerpen Agus Noor (Kompas, 07 Agustus 2016), Anjing Bahagia yang Mati Bunuh Diri, selain menyisakan tanya paling konyol juga memukul akal sehat. Dalam cerpen itu digambarkan, kurang enak apa hidup anjing Pak Kor. Biaya perawatan anjing, menurut Sebleh yang miskin, bisa buat biaya makan orang sepertinya berbulan-bulan. “Bayangin, kenapa dia mesti ngabisin banyak duit buat nyelamatin itu anjing? Kalau emang dia bener-bener dermawan yang berniat menolong, yang mestinya ditolong ya hidup kita ini, bukan anjing buduk itu!” kata Sebleh kepada istrinya.

Anjing itu gantung diri, mengakhiri hidupnya, mengakhiri puncak kenikmatan eksistensi, mengakhiri kenyataan hidup melimpah tak kurang satu apapun, yang menjadi khayalan dan idaman para anjing buluk di gang-gang kotor.

Ini bukan lagi soal bunuh diri anjing Pak Kor. David Hume, filsuf empirisme, berargumen, bunuh diri adalah pemberontakan terhadap garis nasib yang diberikan Tuhan. Tapi, bagaimana pun hitam kelam garis nasib seseorang, walaupun pada akhirnya setiap orang pasti mati, menurut Hume, kematian itu semestinya berproses secara alami, bukan diambil atas inisiatif individu itu sendiri.

Argumen David Hume—bunuh diri sebagai jalan pemberontakan terhadap nasib yang kelam—bisa jadi tidak selamanya benar. Rata-rata setiap tahun ada satu juta orang bunuh diri di dunia. Artinya setiap 40 detik ada satu orang meregang nyawa atas inisiatif sendiri, ungkap International Association for Suicide Prevention(IASP). Angka itu bisa terus meningkat. Bukan hanya mereka yang didera kemiskinan akut—para bankir, eksekutif dunia, dan sejumlah tokoh “sukses” lainnya tidak segan mengakhiri hidup di dunia dengan jalan bunuh diri.

Namun fakta mengejutkan pernah dirilis WHO. Negara miskin justru menyumbang angka paling rendah kasus bunuh diri, yakni sebesar 12%. Disusul negara berpendapatan tinggi 18,3%, negara berpendapatan menengah-atas 34,3%, negara berpendapatan menengah-bawah 35,4%.

The Economist melaporkanselama kurun waktu 1994-2014 angka kematian bunuh diri di Amerika Serikat meningkat hingga 24% dari lintas usia, jenis kelamin, dan profesi. 

Ilustrasi: www.nationalgeographic.co.id
Ilustrasi: www.nationalgeographic.co.id
Masih ingat kasus bunuh diri Lee In-won, Vice Chairmandi Lotte Group Korea Selatan? Pria berusia 69 tahun yang menjadi orang paling dipercaya selama empatpuluh tiga tahun di perusahaan multi bisnis itu mengakhiri hidupnya pada sebuah pohon di jalur pendakian di sebelah timur kota Yangpyeong. Lee menjadi tersangka kunci dalam dugaan mengemplang pajak senilai ratusan juta dolar AS.

Pada 2003 Chairman Hyundai Group, Chung Mong-hun melompat dari lantai 12 melalui jendela di kantornya. Aksi lompat yang berakhir maut itu dilakukan Chung setelah diinterogasi polisi atas tuduhan transfer rahasia dana sebesar US$ 500 juta kepada Korea Utara demi mengamankan kesepakatan bisnis.

Seorang mantan chief executive perusahaan asuransi Zurich Insurance, Martin Senn, mengakhiri hidup dengan menembak dirinya sendiri diduga karena depresi. Kematian Senn menambah panjang daftar eksekutif Zurich Insurance yang tewas karena bunuh diri. Tiga tahun lalu, kepala keuangan perusahaan penjamin asuransi terbesar Swiss memilih nasib serupa.

Merujuk pada hasil survei terhadap 2.600 orang di Amerika Serikat, 85 persen masyarakat AS cemas soal keuangan mereka. Bahkan satu dari empat masyarakat AS menyatakan khawatir terhadap uang setiap hari. Bahkan jumlahnya mencapai 28 persen. Mengutip KOMPAS.com, berdasarkan survei yang dilakukan American Psychological Association pada 2015 merilis laporan survei bertajuk "Stress in America" menemukan, masyarakat yang paling stres di Amerika Serikat adalah kaum wanita muda berusia 20-an dan 30-an. Lebih terperinci, mereka yang sangat stres adalah wanita muda yang telah menjadi orangtua dan memiliki penghasilan kurang dari 50.000 dollar AS atau setara dengan Rp 632 juta per tahun.

Namun, ini semua bukan soal angka dan data statistik—ini soal bagaimana bersikap dan menyikapi dunia yang bertambah tua, ketika eksistensi seseorang ditentukan bukan terutama oleh kesadaran yang dibangun dari dalam diri (internal), melainkan lebih dipengaruhi dan dikendalikan pencapaian eksternal, yang dalam situasi dan kasus tertentu ternyata serupa takhayul kesuksesan.

Di Indonesia kehidupan kaum urban kerap menampilkan ironi. Tekanan pekerjaan, persaingan bisnis, tuntutan tetap survive di tengah kondisi politik ekonomi global yang tidak menentu, individualisme, rutinitas setiap hari: tidur beberapa jam saja, berangkat pagi pulang larut malam, dikepung macet—semua itu mencampakkan harkat kemanusiaan seseorang ke tempat paling nadir dalam kesadaran hidupnya. Merasa tegar namun di satu pihak merasa tidak berdaya.

Industrialisasi dan urbanisasi telah membuat masyarakat urban kehilangan nilai-nilai tradisional, seperti kekeluargaan, kebersamaan, cinta, religiusitas dan sebagainya, yang sebelumnya dipegang, ungkap Bambang Prio Jatmiko dalam Mario Teguh dan Ironi Masyarakat Urban. Berburu eksistensi ternyata memakan korban: bangunan fundamental yang menopang hubungan antar manusia keropos lalu roboh secara perlahan-lahan. Dari sudut pandang ini, stres adalah tanda robohnya sebagian pondasi harkat kemanusiaan seseorang.

Pelarian? Tentu saja akan selalu dibutuhkan tatkala terjadi “lubang di hati”. Kebanyakan orang Amerika mengatasi stres dengan berselancar di dunia maya, menonton televisi, dan merokok, ungkap survei The American Psyschological Associaton. Di Indonesia industri motivasi tumbuh subur menyambut kegetiran yang dirasakan masyarakat urban. Namun sayangnya, namanya juga industri, tidak pernah lepas dari berburu keuntungan dengan cara menawarkan solusi-solusi instant. Kendati demikian “lubang di hati” belum juga tertutupi karena solusi instant yang ditawarkan industri motivasi bergerak pada jiwa manusia paling permukaan.

Saya sepakat dengan kalimat pembuka cerpen Agus Noor, "Setiap orang punya nasibnya sendiri-sendiri..." Sebleh, Pak Kor dan anjingnya seperti menggambarkan guratan nasib itu sendiri. Berburu "nasib eksistensi" jangan sampai berakhir bunuh diri.

“Benar, anjing itu gantung diri,” kata satpam yang menjaga rumah Pak Kor, ketika kami datang untuk menanyakan kabar kematian anjing itu. Ini sungguh kejadian paling konyol yang pernah kami dengar. Kami sempat melongok, rumah Pak Kor begitu sepi. Beberapa hari lalu Pak Kor memang tertangkap tangan dan ditahan karena kasus korupsi.

Kami teringat pada anjing yang bahagia itu, ketika ada yang nyeletuk. “Mungkin, ini mungkin lho ya, anjing itu mati bunuh diri karena malu, ternyata selama ini ia makan dengan uang hasil korupsi.” Terdengar lebih konyol dan lucu.

Tapi kami tak bisa tertawa.[]

Jagalan 150916

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun