Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tradisi Mudik dan Sense of Purpose

26 Juni 2016   02:25 Diperbarui: 26 Juni 2016   03:14 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pulang Kampung | Sumber: http://img.duniaku.net

Satu minggu menjelang Hari Raya Idul Fitri, dulu, saya selalu siap diomelin istri bukan terutama karena THR atau baju baru. Soal THR dan baju baru di keluarga saya menjadi urusan yang sudah selesai bahkan sejak sebelum puasa. Ribut mengharap THR dan ribet beli baju baru bukan tradisi. Dua urusan itu berhasil kami selesaikan dengan sikap syukur.

Saya hampir konsisten dengan keterlambatan mengambil keputusan kapan mudik ke Trenggalek, kota kelahiran istri. Konsistensi yang membuat istri saya jengkel. Kadang saya merasa egois dengan keputusan bertahan di Jombang sampai tiga hari setelah 1 Syawal. Bagaimana tidak? Hari pertama idul fitri hingga hari ketiga menjadi momentum pribadi: aroma udara pagi idul fitri, berjumpa sahabat dan teman bermain waktu sama-sama masih bocah, cerita konyol yang berhamburan, nostalgia yang indah.

Tentu saya tidak bisa bersikap egois terus menerus. Istri juga membutuhkan suasana mudik, menghayatinya, menikmatinya, mengenangnya di kampung halaman. Maka, sudah tiga kali lebaran kami berangkat ke Trenggalek sehari sebelum idul fitri.

Mudik dengan tradisi dan ritual yang mengiringinya sungguh terasa sakral, bahkan mistis. Bergelayut di dalam hati perasaan aneh, asing, rindu, kangen, dan berlipat-lipat kelembutan situasi emosional – semua itu tidak gampang diungkapkan dengan kata. Mudik menjadi kesadaran yang utuh, laku hidup yang mengharu-biru siapa saja kala terdorong untuk kembali.

Kembali kemana, kembali pada apa, atau kembali pada siapa? Jawaban yang kadang cukup pelik untuk diuraikan, apalagi didetail-ceritakan. Ada tradisi mudik, kemacetan mudik, keselamatan mudik, kenyamanan mudik. Yang tidak bisa dijlentrehkan terutama adalah rasa mudik.

Ya, rasa mudik. Kesadaran yang menggerakkan kita agar selalu kembali kepada titik nol: koordinat sebelum langkah kesatu, kedua, dan seterusnya – dimulai. Koordinat titik nol adalah sesaatsebelum detik-detik ibu melahirkan kita. Koordinat nol adalah sesaat sebelum jatung berdetak mengawali kehidupan kita di dunia. Koordinat nol adalah sesaat sebelum paru-paru kita menghirup udara dusun atau desa tempat kita dilahirkan. Koordinat nol adalah titik berangkat sesaat sebelum kita mengenal takdir hidup di dunia.

Mudik akan selalu berkaitan dengan simpul budaya koordinat nol: ziarah ke makam orangtua, sungkem bapak dan ibu, berjumpa teman dan sahabat saat kecil, shalat di mushola yang menjadi tempat pertama kali kita tidur malam terpisah dari orangtua. Simpul-simpul budaya koordinat nol hadir dan kita jamah kembali setelah langkah kaki berjalan sampai koordinat angka yang entah keberapa.

Alhasil, mudik adalah perjalanan pergi untuk kembali. Simpul budaya koordinat nol menuntun kita pada kesadaran yang lebih subtansial. Hidup bukan sekedar berurusan dengan bungkus. Ada esensi di dalam setiap peristiwa yang hendak kita gapai. Esensi itu apabila kita padatkan menjadi sense of purpose.

Sense of Purpose:Daya Hidup

Di tengah laju kencang perubahan zaman, di tengah hiruk pikuk problematika hidup, di tengah hegemoni cara berpikir yang menelanjangi harkat kemanusiaan, sense of purpose adalah daya hidup yang menjadi orbitasi setiap laku dan langkah, sehingga kita tidak melayang-layang tanpa arah. Bukankah Tuhan memiliki maksud atas kelahiran kita di dunia?

Kita hidup untuk menjalankan sebuah misi. Masih ingat bagaimana seorang Nelson Mandela yang memiliki sense of purpose mengagumkan? I am prepared to die adalah ungkapan yang menunjukkan betapa dahsyat karakter sense of purpose yang dimiliki Mandela. Berkat daya hidup siap mati dan siap mewakafkan dirinya melawan dominasi kulit putih tapi juga menentang dominasi kulit hitam, meringkuk di dalam penjara selama duapuluh tujuh tahun tidak membuat Mandela gila. Ia teguh memegang misi hidupnya.

Situasi mental kejiwaan yang mustahil dicapai oleh seseorang apabila ia tidak memiliki daya hidup. Spirit, misi, dan visi hidup menyatu dalam kesadaran Mandela. Di saat ia memegang kekuasaan, sense of purpose menuntunnya untuk tidak membalas semua perlakuan buruk yang diterimanya selama di penjara.

Apa kaitan semua itu dengan mudik? Laku mudik yang kita jalankan setiap tahun semestinya menghasilkan kesadaran esensial tentang sense of purpose kehidupan. Kita mengenalnya melalui ungkapan innaa lillaahi wa innaa ilaihi roji’un. Kita adalah milik Allah dan kembali kepada Allah.

Ungkapan yang kerap diucapkan ketika ada orang meninggal dunia itu merupakan daya hidup, sense of purpose, bagi para pelaku mudik. Jauh-jauh ia merantau hingga ke luar negeri, pada saat dan akhirnya harus kembali pulang ke kampung halaman. Jauh-jauh mengembara ke ibu kota, ia butuh untuk kembali ke kota kelahirannya.

Kita dapat membuat beragam simulasi laku kehidupan dengan menggunakan rumus innaa lilaahi ini. Puncak esensi kesadaran hidup adalah siap untuk kembali. I am prepared to die Mandela membuktikannya.

Ungkapan, jangan hidup kalau takut mati, atau jika takut mati jangan hidup, atau perjalanan pergi untuk kembali adalah sebuah kesadaran yang melingkar. Perjalanan kita bukanlah perjalanan garis linier. Setiap titik koordinat hidup yang terhubung akan membentuk lingkaran, karena menjalankan gagasan hidup yang menyatu dalam spirit visi kehidupan sejatinya adalah gerak pulang kembali kepada Sang Maha Hidup.

Hidup akan terasa datar apabila tidak kita miliki gagasan, misi, sense of purpose, atau daya hidup. Hanya rutinitas harian: makan, tidur, berangkat kerja, pulang, macet, mengeluh. Demikian pula mudik tanpa kasadaran sense of purpose: hanya pamer prestasi dan simbol kesuksesan.

Bahkan pun mudik harus kita temukan maknanya. Apa sense of purpose mudik kita tahun ini? []

Jagalan 26 06 2016

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun