Mohon tunggu...
Achmad Nur
Achmad Nur Mohon Tunggu... Seniman - Ahmadnrmansyah

Manusia biasa, tetapi susah bangun. Suka memberi pesan whatsapp, "okey sampai sana aku whatsapp", sampai akhirnya "Tidak, saya sudah dijemput!."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Katastrofa Judi dan Narkoba

20 Agustus 2019   01:21 Diperbarui: 20 Agustus 2019   01:24 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Ahmadnrmansyah

Ada rasa iri dalam diriku, yang melihat langkah-langkah ringan dan canda tawa anak-anak yang masih ingin berpendidikan tinggi yang melintas depan teras rumahku selalu bersemayam dihatiku. Benar-benar mereka anak yang beruntung, "Mereka seperti selalu ceria mempunyai teman-teman baru tanpa beban," pikirku melayang.

"Eh, kamu nda jualan sudah jam berapa ini?" kata bapak yang menyuruhku berjualan seakan-akan aku berkerja ditoko, maka tersadarlah aku dari lamunan, dengan segera aku pergi ketempat seorang Bandar tempat bapak tiriku berhutang.

"Kamu jangan lupa kasih tau bosmu nanti kalau ada duit bapak bayar hutang." Kata bapak 

"Iya pak." Berat hatiku untuk melangkahkan kaki, ternyata bapak berhutang sama Bandar narkoba tempatku berkerja.

Aku berkerja dengan hati yang tak pernah ikhlas, menjadi peluncur seorang Bandar narkoba adalah perkerjaan sangat berat bagiku, tapi mau bagaimana lagi ini kemauan bapak tiriku yang tidak pernah pikir panjang terhadap suatu perkerjaan, yang bisa saja ada aparat negara yang menangkapku dan memasukan aku kepenjara, entah sampai kapan aku berkerja seperti ini. Seorang ibu yang hanya bisa terdiam melihat kelakuan bapak tiriku yang mengira aku berkerja ditoko.

Sudah sebulanan lebih aku berkerja sebagai Bandar narkoba,dan ibuku mengetahui diriku berkerja ditoko sembako yang tidak jauh dari rumahku, tetapi aku hanya bisa melihat keluakuan seorang bapak tiri yang tidak peduli dengan keluarganya. Selama aku berkerja menjadi seorang penjual narkoba, bapak sering meminta uang kepadaku untuk membeli rokok, tidak tanggung-tanggung merokok yang lumayan mahal bagiku, rokok seperti mandor-mandor yang memiliki duit lebih banyak dari pada kuli seperti bapak. Dan tampaknya beliau lebih suka membeli rokok, bermain judi, ke club malam, membelisabu, ketimbang membeli beras dan keperluan keluarganya. Mungkin dipikiran beliau tidak pernah merasa bersalah memperkerjakanku.

Disudut kamar aku berdiam diri sejenak setelah beristirhat bekerja dikampungku, kulihat seorang ibu yang berharga dalam hidupku. Ibu yang selama ini meberikan perhatian, memberikan kasih sayang tanpa mengharapkan balasan. Ibu sebagai perempuan perkasa yang menerima suratan takdirnya, dan selalu mendoakan diriku.  

"Nak, kamu sudah gajian belum?," tanya ibu dengan hati-hati.

" Sudah Bu, kemarin. Kenapa bu?," aku balik bertanya pada Ibuku.

"Boleh ibu pinjam dulu? Buat beli beras dan bayar sewa rumah kita, bapakmu udah lima hari tidak berkerja lagi.

Dengan berat hati aku berusaha mengikhlaskan uang gaji yang ingin kutabung untuk biaya kuliah ku nantinya, raut wajah Ibu yang seketika berubah cerah saatku berikan uang yang ku punya, walaupun ibu tidak tahu kalau itu uang hasil aku menjual sabu.Jika ibu tahu pasti ibu akan kecewa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun