Mohon tunggu...
Achmad Muchtar
Achmad Muchtar Mohon Tunggu... Administrasi - Content writer

Lahir di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penyuka buku, sastra, film, dan sepi. Tinggal di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat yang Tak Kunjung Datang

14 Juli 2014   07:03 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:24 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen Achmad Muchtar (Majalah Hai, 02/2014/XXXVIII, 13-19 Januari 2014)

MENTARI pagi belum juga muncul, namun Damar telah beranjak dari ranjang hangatnya. Ia baru saja berdoa semoga ia lulus sekolah. Hari ini adalah pengumuman kelulusan. Ada dua kemungkinan, jika salah seorang guru mengantarkan surat ke rumahnya, maka sudah dapat dipastikan ia tidak lulus, begitu sebaliknya, jika sampai pukul 12.00 belum juga ada guru yang menyambangi rumahnya maka ia lulus.

Sudah sejak pukul 01.00 pagi Damar terbangun. Ia cemas. Maka ia mengambil wudhu untuk tahajud. Ia sangat khawatir oleh dua kemungkinan yang mengganjal pikirannya, lulus atau tidak lulus. Damar tahu betul dua kemungkinan itu bisa saja terjadi. Ia tahu bahwa nasibnya terletak pada lembar jawab yang beberapa bulan lalu ia kerjakan.

Ia sangat cemas pada kemungkinan yang bakal terjadi. Ia takut tidak lulus. Walaupun ia termasuk orang yang selalu meraih juara di kelas, namun ia masih cemas jika tidak lulus. Ia menggantungkan nasib pada lembar kerja. Ia takut bila ternyata alat tulis yang ia gunakan palsu. Ia takut kalau pensil 2B yang ia bulatkan pada lembar kerja itu tidak terbaca oleh komputer. Ia juga takut jika bulatannya kurang penuh atau melebihi dari yang disediakan. Ia takut lembarannya kotor. Ia amat cemas jika lembaran yang ia kerjakan terlipat saat guru-guru pengawas mengumpulkan lembar jawab.

Kemungkinan-kemungkinan yang bersifat teknis itu mungkin saja terjadi dan membuat nasib Damar menjadi buruk lantaran ia tidak lulus sekolah. Makanya mulai bulan lalu, ia selalu berdoa agar diluluskan sekolah. Saban hari ia shalat lima waktu dan berdoa setelahnya. Saban hari pula ia bangun tengah malam untuk melaksanakan shalat tahajud. Ia benar-benar ingin lulus dan melanjutkan ke kampus impiannya.

Jam masih menunjukkan pukul 04.00 pagi, tak seperti biasanya Damar telah siap-siap untuk mandi. Baru akhir-akhir ini Damar mandi sebelum Subuh. Ia menjadi begitu rajin berangkat untuk salat Subuh berjamaah di masjid. Sesekali ia mengumandangkan adzan lantaran ia datang pagi sekali. Tapi kali ini ia keduluan. Adzan berkumandang sebelum Damar tiba.

Ia pulang dari masjid dengan raut kecewa. Diletakkannya peci dan sajadah. Ditanggalkannya sarung dan baju kokonya hingga ia hanya berkaus oblong dan bercelana pendek. Disapunya lantai kamar. Lantai kamar Damar sangat kotor. Banyak sobekan-sobekan kertas dan bungkus-bungkus makanan dan permen berserakan. Apalagi kalau puluhan kertas yang tertempel di temboknya itu ia cabut, maka kamar menjadi seperti gudang sampah.

Banyak sekali kertas-kertas yang menempel di dinding kamarnya menandakan betapa sulitnya Ujian Nasional Damar. Ia kurang pandai menghapal. Maka ia tulis rumus-rumus dan poin-poin penting ke atas kertas-kertas lalu ia tempel di dinding. Ia tak peduli. Ia ingin lembaran itu terbaca begitu ia berada di dalam kamar.

Tempelan-tempelan kertas itu tak hanya memenuhi dinding kamar Damar, namun juga lemari dan pintu. Tak hanya menempel di kamar Damar, namun juga di beberapa ruangyang sering Damar lewati ketika di rumah, seperti di pintu kamar tamu, ruang makan, kamar mandi, pintu kulkas, daun jendela dan tempat sampah.

Tak hanya tempelan kertas, namun juga dalam bentuk digital, seperti wallpaper ponsel, laptop, dan komputer. Ia memang sulit menghapal. Ia tak ingin tidak lulus sekolah. Begitu lulus, ia akan membersihkan semua kertas yang menempel di rumahnya. Ibu dan ayah Damar kesal lantaran lembaran-lembaran itu mengotori rumah.

Setelah menyapu kamarnya, ia lanjutkan menyapu ruang demi ruang rumahnya.

"Andai Ujian Nasional diadakan setiap bulan, tentu kita tak butuh pembantu, iya, kan, Ma?" Ayah Damar berkata menyindir Damar dengan lirikan ke arah Ibu Damar yang tengah membantu Bi Siti, pembantunya memasak.

"Biarin, Pa. Beruntunglah akhir-akhir ini tole rajin membersihkan rumah. Syukur-syukur bisa setiap hari."

"Jangan, Nya, nanti saya bisa makan gaji buta," seloroh Bi Siti sambil senyum-senyum ke Damar.

"Kebersihan, kan, bagian dari iman, jadi nggak ada salahnya, kan, jika aku menyapu rumah? Lagian daripada main PS atau Facebook-an. Iya, kan?" Damar terus menyapu, "yang penting, Pa, Ma, Bi, kalian mendoakan aku supaya lulus sekolah."

"Amin, amin, ...," ayah Damar mengamininya, dilanjutkan minum kopi. Memang hari masih pagi dan ayah Damar belum juga siap-siap ke kantor. "Mar, apapun hasilnya, hadapi dengan kemenangan. Maaf, Papa dan Mama kamu tidak bisa menemanimu hari ini."

"Iya, deh, Pa. Kan, ada Bi Siti."

"Iya, Den, biar aku temani nanti."

Pukul 07.30 dan kedua orangtua Damar telah meninggalkannya setelah mereka sarapan. Kini tinggal Damar dan Bi Siti.

"Jadi, gimana, Den?"

"Gini, Bi, kalau ada guru yang datang, itu berarti pertanda buruk, Bi. Aku sudah pasti tidak akan lulus. Sebaliknya, jika tidak ada guru yang datang hingga adzan Dhuhur, maka pasti aku dinyatakan lulus. Dan aku pasti langsung ke sekolah karena pasti sudah berkumpul anak-anak yang lulus untuk merayakannya, Bi."

"Oke, Den, Bibi siap bikin cemilan yang enak."

"Makasih, Bi. Pokoknya doakan Damar, ya, Bi."

"Pasti, Den."

Damar pun menuju ruang tamu. Ia tak mau membersihkan debu-debu yang hinggap di permukaan sofa dan meja. Ia tak berharap kedatangan tamu pagi ini. Maka dibukanya gorden jendela. Sinar mentari pun masuk. Ia buka pintu. Ia keluar. Ditengoknya jalanan: masih sepi. Ia tak mengharap kedatangan gurunya. Tapi ia sangat takut jika tiba-tiba gurunya muncul di balik gerbang rumahnya yang tinggi menjulang. Ia sangat takut kalau tidak lulus.

Berkali-kali ia menengok jalanan, takut kalau tiba-tiba gurunya datang mencari rumahnya.

"Den!" tiba-tiba Bi Siti memangilnya.

"Iya, Bi."

"Ini cemilannya sudah jadi. Mumpung masih panas, Den."

"Oke, Bi. Makasih," Damar pun bergegas ke ruang tamu, "lho, ngapain dibersihin, Bi?"

"Kotor, Den."

"Nggak usah, Bi."

"Lho, kenapa, Den."

"Pokoknya nggak usah, Bi. Sini kemocengnya!"

"Ini, Den."

"Bibi boleh ninggalin aku sekarang."

"Baik, Den, kalau ada apa-apa panggil Bibi, Den. Bibi mau nyuci pakaian dulu."

Damar begitu kesal, ia tak berharap akan ada tamu yang duduk di sofa itu hari ini. Ia tak mau menyiapkan kursi untuk tamu yang akan membawa kabar buruk baginya.

Pukul 10.00 pagi dan Damar masih dilanda rasa cemas. Dua jam lagi adalah waktu penentuan. Jika ternyata tidak ada guru yang datang ke rumahnya, maka ia bisa tersenyum puas akan kemenangannya. Ia akan bergegas menuju ke sekolahnya untuk pesta kelulusan.

Sesekali ia menengok kembali jalanan dekat rumahnya. Berharap tidak ada yang mencari rumahnya. Tapi tiba-tiba tetangganya datang.

"Nak Damar."

"Iya, Lek. Ada apa?"

"Gini, Mar, tadi kayaknya ada yang mencari kamu. Tapi aku nggak tau dia bener-bener nyari kamu atau nggak."

"Hah, siapa, Lek? Yang bener?" seketika jantung Damar berdegup kencang dan nafasnya menjadi begitu menggebu-gebu.

"Tapi, Lek, nggak tau yang dimaksud Damar itu kamu apa Pak RT."

"Gimana perawakannya, Lek?"

"Seorang ibu-ibu. Seumuran sama akulah, Nak."

"Dandanannya gimana?"

"Mmm..., ya biasa. Pokoknya berkerudung. Dia memakai sepeda. Kamu nggak kenal, ya?"

"Dia membawa surat, nggak, Lek?"

"Nggak tau, ya. Yang pasti dia membawa tas."

"Ya udah, Lek. Makasih," lantas Damar menuju kamarnya. Berseragam lalu bersepatu. Menjinjing tas lalu menyalakan motor. Belum adzan namun Damar sudah melesat ke sekolah. Gampang saja, jika ada guru datang membawa surat, pasti Bi Siti akan meneleponku, pikir Damar.

Ia tiba di sekolah. Sepi. Hanya kantor guru yang pintunya terbuka. Ia datangi dengan terburu-buru.

"Bu, saya lulus atau tidak?" tanpa basa-basi Damar bertanya dan tanpa permisi terlebih dahulu. Lantas guru-guru kaget.

"Lho, bukannya disuruh menunggu di rumah?"

"Saya sudah tak sabar, Bu."

"Maaf, Mas, silakan ikuti sesuai dengan perintahnya."

"Baik, Bu. Terima kasih. Permisi," Damar dengan perasaan kesal lantas menuju parkiran. Ia bingung mau pulang atau tetap di sekolah mengingat sebentar lagi adzan. Damar memilih untuk tetap di sekolah.

Adzan pun berkumandang, namun belum pukul 12.00.

Sekonyong-konyong muncullah teman-teman Damar dengan suka cita. Mereka datang sambil menggembor-gemborkan motor mereka. Sudah pasti yang datang ke sekolah pasti lulus. Mereka menumpahkan kegembiraannya dengan mencorat-coret seragamnya. Ia pilox lalu bersiap-siap untuk pawai kelulusan keliling kota.

Damar ikut tumpah ruah dalam kegembiraan. Ternyata ia telah memenangkan ujian kelulusan. Mereka pun pawai mengelilingi kota. Lalu belok ke pantai untuk melepaskan kepenatannya telah dihadapkan pada rumus-rumus yang membuat muka mereka mengkerut.

Damar merogoh celananya, ada yang bergetar. Ia mengeluarkan handphone-nya: ada 3 panggilan tak terjawab, dari Bi Siti.

"Berhenti, bro! Berhenti sebentar!" seketika rombongan kendaraan bermotor pun berhenti. Damar menghubungi Bi Siti.

"Ada apa, Bi, telpon aku tadi? Aku sedang pawai merayakan kelulusan, Bi. Tolong nanti bilangin Papa dan Mama kalo aku lulus."

"Maaf, Den, tadi sebelum adzan, ada seorang ibu-ibu berkerudung bertamu. Dia meninggalkan sepucuk surat untuk orang tuamu, Den."

Bantul, 29 Maret 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun