Pemilihan kepala daerah serentak nasional pada 37 provinsi (kecuali DIY), 415 kabupaten, dan 93 kota otonom telah selesai dilaksanakan. Meski masih menyisakan 40 daerah yang tertunda pelantikannya, meliputi 3 provinsi, 34 kabupaten, dan 3 kota yang harus menunggu hasil keputusan siding perselisihan hasil pemilihan di Mahkamah Konstitusi.Selanjutnya, pada hari Kamis tanggal 20 Februari 2025, Presiden Prabowo melantik 481 pasangan kepala daerah terpilih di Istana Negara, terdiri atas 33 Gubernur, 363 Bupati, 85 Walikota (untuk Kabupaten Ciamis hanya dilantik Bupati karena calon Wakil Bupati meninggal jelang pemilihan). Sementara untuk Provinsi Aceh, karena kekhususannya telah dilakukan pelantikan mendahului (1 Gubernur, 17 Bupati dan 3 Walikota).
Secara total, jumlah kepala daerah yang dilantik baik oleh Presiden Prabowo secara serentak di Jakarta maupun oleh Mendagri dan Gubernur Aceh hingga tanggal 20 Februari adalah sebanyak 1.005 orang, meliputi 961 di Jakarta dan 44 orang di Aceh, yang terdiri atas 503 orang kepala daerah dan 502 orang wakil kepala daerah.
Data menarik pada Pilkada 2024 yang lalu menunjukan peningkatan jumlah perempuan yang dipercaya menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Tercatat 111 orang perempuan (belum termasuk daerah yang masih PHP di MK) yang terpilih dan dilantik menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah yakni Gubernur 2 orang, Wakil Gubernur 5 orang, Bupati 34 orang, Wakil Bupati 46 orang, Walikota 7 orang, danWakil Walikota 17 orang.
Pasca usai Pilkada serentak nasional ini, tentunya masyarakat masing-masing daerah tengah menanti dan menumpangkan banyak harapan bagi kepala daerah terpilih untuk segera wujudkan janji-janji yang telah disampaikan kepada masyarakat, baik yang memilih maupun yang tidak memilih mereka.
Menjadi pemimpin daerah yang dipilih secara langsung oleh masyarakat, tentu membuat kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih memiliki legitimasi dan otoritas kuat untuk memimpin daerah dengan kewenangan yang didukung undang-undang, serta juga didukung oleh masyarakat pemilih yang diharap tetap setia mengawal dan membantu wujudkan janji-janji mereka.
Sebagai eksekutor kebijakan desentralisasi dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia, kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih perlu memahami beberapa konteks dasar penyelenggaraan pemerintahan daerah berikut.
Pertama, penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak hanya sebatas dimaknai sebagai pemberian kewenangan  pemerintah daerah bersama DPRD untuk melaksanakan urusan-urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Namun, pelaksanaan kewenangan yang selama ini lebih didominasi oleh tuntutan hak-hak daerah semata, perlu diimbangi juga melaksanakan kewajiban-kewajiban daerah sebagai bagian dari NKRI. Disparitas yang cukup tinggi antar daerah, perlu diimbangi dengan orkerstrasi yang harmonis oleh kementerian-kementerian yang telah ditunjuk untuk membantu Presiden. Artinya, sinkronisasi antara pusat dan daerah menjadi sebuah keniscayaan untuk wujudkan visi Presiden. Inilah salah satu esensi penting dilaksanakan Pilkada serentak dan pelantikan serentak oleh Presiden.
Kedua, kelembagaan daerah yang kolaboratif, ramping struktur, dan kaya fungsi akan menjadi casing yang efektif agar kewenangan untuk melaksanakan urusan pemerintahan daerah berlangsung secara tepat sasaran. Kepala daerah terpilih harus mampu mengorkestrasi kelembagaan dengan menetapkan target dan capaian kelembagaan yang terukur pada masing-masing lembaga, sehingga memudahkan evaluasi oleh kepala daerah terhadap kinerja lembaga-lembaga SKPD yang mereka pimpin.
Ketiga, kepegawaian daerah menjadi salah satu kunci terpenting dalam kesuksesan kepemimpinan seorang kepala daerah. Secara umum, rekrutmen ASN yang selama ini belum berorientasi pada pencapaian hasil, akan menjadi tantangan utama bagi kepala daerah untuk sukses memimpin daerahnya. Secara umum ASN di beberapa daerah tidak terbiasa dengan penetapan kinerja personal yang terukur secara kuantitatif. Kecenderungan bekerja bussines as usual, banyak mewarnai kinerja ASN kita. Pemberian tunjangan kinerja atau tambahan penghasilan pegawai, tidak sepenuhnya efektif mendorong kinerja pegawai. Bahkan pada beberapa tempat, justru membuat  ASN pada "zona nyaman" sehingga mereduksi kreativitas dan inovasi mereka. Kepala daerah  perlu menerapkan meritokrasi untuk mendorong kinerja pegawai yang optimal. Meritokrasi bukan hanya sekedar pemberian penghargaan, tapi juga sanksi yang tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan.
Keempat, pengelolaan keuangan daerah yang lebih berorientasi pada kualitas pelayanan dan terpenuhinya kepentingan dasar masyarakat. Kepala daerah sebagai pemegang kekuasaan kekuangan, perlu memastikan perencanaan yang disusun dan disepakati bersama DPRD, mampu menjawab permasalahan yang dipilih secara selektif untuk diselesaikan, mengingat kekuatan fiskal daerah yang pasti terbatas. Seringkali kegagalan menentukan skala prioritas untuk pembiayaan pembangunan daerah, menjadikan pengelolaan keuangan daerah tidak memberikan dampak yang signifikan pada penyelesaian masalah-masalah yang nyata terjadi di daerah.