Mohon tunggu...
Achmad Humaidy
Achmad Humaidy Mohon Tunggu... Freelance KOL Specialist - Blogger -- Challenger -- Entertainer

#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Buku Harian Ramadan sebagai Catatan Amal Kebaikan

19 April 2021   23:02 Diperbarui: 19 April 2021   23:47 1710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nostalgia ramadan masa kecil (dok. pribadi)

Gerak-gerik mataku melirik ke kanan dan ke kiri setiap selesai salat witir di masjid. Aku tak melihat lagi antrian anak-anak yang meminta tanda tangan ustad atau imam salat setiap malam. Segera aku tersadar bahwa momen itu terjadi sekitar 20 tahun yang lalu, tepat saat aku masih rajin untuk mengisi buku harian ramadan yang diwajibkan pihak sekolah.

Mungkin sekitar tahun 2010, buku harian ramadan itu sudah tak ada. Anak-anak zaman sekarang hanya disibukkan mengisi ramadan dengan ngegombal, ngegalau, ngegames, dan hal-hal lain yang tidak berfaedah. Kebutuhan anak zaman now itu hanya sebatas sandang, pangan, dan konten. Sekalipun buku harian itu ada pasti formatnya sudah dalam bentuk digital. Bukan lagi cetak seperti apa yang pernah aku bawa ke masjid saat kecil dulu.

Era 90an akses memperoleh informasi begitu terbatas. Aku dan teman-teman lebih banyak beraktivitas di luar rumah. Bermain dengan tetangga jadi pilihan untuk mengusir rasa bosan karena belum ada teknologi yang mendukung seperti sekarang. Khususnya, saat era presiden Gus Dur yang meliburkan sekolah selama sebulan penuh ramadan. Betapa bahagia libur ramadan saat itu yang setiap harinya harus mengisi buku harian.

'Wah! Aku ingat betul' Selain bawa buku harian ramadan, tentu aku harus membawa pulpen saat ke masjid. Selama mendengar ceramah, aku harus merangkum semua yang dikatakan ustad atau penceramah di masjid kala itu. Selesai salat, semua anak langsung menyerbu ustad atau kiai untuk meminta paraf di buku hariannya masing-masing. Ibarat penggemar yang meminta tanda tangan idolanya.

Beberapa temanku sering menyalin dari kajian agama apa saja yang sudah aku tulis rapi. Konon, tulisan tanganku dianggap seperti ketikan komputer. Ada juga yang meminjam buku punyaku saat sudah masuk sekolah dan mereka baru sibuk mengisi buku kegiatan ramadan itu sebelum dikumpulkan ke guru agama. Nah, Kompasianer ada yang malas seperti itu?

Supaya buku harian ramadan terlihat penuh, guru agama juga pernah mewajibkan untuk menyertakan cap atau stempel dari masjid yang didatangi setiap hari. Kalau untuk urusan ini, aku tak ada masalah karena ayahku termasuk pengurus masjid sehingga bisa lebih mudah dapat stempel dari masjid dekat rumah.Seingatku, buku harian ramadan punyaku tak menyisakan lembar kosong.

Setelah terisi, biasanya buku harian ramadan dikumpulkan ke guru agama islam di sekolah. Ada guru agama yang periksa lembaran demi lembaran dengan cermat. Ada juga yang hanya sebatas memberi nilai atau melihat isinya saja, penuh atau masih ada yang bolong. Setidaknya, buku harian Ramadan bisa mempengaruhi nilai agama di sekolah.

Buku Harian Ramadan (IG @Generasi90an)
Buku Harian Ramadan (IG @Generasi90an)

Buku harian ramadan bagai introspeksi buat diriku sendiri atas amalan apa saja yang sudah aku lakukan. Dari awal ramadan, aku pun niat mengisi buku harian itu tiap hari. Apalagi Rasulullah SAW bersabda "Jika salah seorang dari kalian telah memperindah islamnya, maka setiap kebaikan yang diamalkannya akan dicatat baginya dengan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus lipat. Dan setiap kejelekan yang Ia kerjakan akan dicatat baginya satu kejelekan semisalnya" (HR. Bukhari dan Muslim)

Buku harian ramadan juga jadi bukti bahwa aku telah mengikuti kegiatan ramadan di lingkungan rumah. Dengan adanya buku harian ramadan, aku merasa rutinitasku lebih terjadwal. Aku harus tahu apa saja yang harus aku lakukan sehingga ada kontrol diri untuk terus berbuat kebaikan.

Aku juga belajar untuk jujur pada diri sendiri saat mengisi buku harian Ramadan. Kalau ada puasa yang bolong tentu aku tidak isi buku itu. Begitu juga saat malas salat tarawih, sudah pasti halaman buku harian ada yang kosong. Dengan begitu, aku bisa menerima keadaan diri apa adanya.

Melalui buku harian ramadan pula, aku bisa latihan untuk menulis. Kadang, aku menuangkan ide-ide atau sekadar mencurahkan perasaan. Dari kebiasaan menulis di buku harian itu, akhirnya menulis jadi hobiku sampai sekarang.

Seingatku, di buku harian ramadan juga ada kolom-kolom untuk menulis hafalan surat pendek dari Al Qur'an. Selain hafalan yang dituliskan, aku harus meminta tanda tangan orangtua. Begitu juga saat harus melaksanakan salat wajib 5 waktu. Semua harus dichecklist dan diketahui oleh orangtua sebagai pengawas kegiatanku di rumah.

Dengan hadirnya buku harian Ramadan, gelora semangat ibadah juga bertahan sampai akhir. Ibadah itu harus dilakukan secara berkelanjutan meski hanya sedikit atau perlahan. Amalan yang sedikit namun dikerjakan secara konsisten lebih utama dari amalan banyak, tapi tak rutin.

Namanya juga anak-anak. Hanya semangat saat di awal dan akhir ramadan saja. Begitu pertengahan mulai lengah. Hanya buku harian ramadan yang bisa menyemangati untuk terus istikamah berbuat kebaikan.

teman-teman pengajian juga jadi support system yang baik saat mengisi hari dengan kegiatan berfaedah selama ramadan (dok. pribadi)
teman-teman pengajian juga jadi support system yang baik saat mengisi hari dengan kegiatan berfaedah selama ramadan (dok. pribadi)

Andai saja, buku harian itu masih ada. Aku pikir anak-anak sekarang akan berlomba untuk mengisi buku harian setiap hari. Buku harian ramadan bukan semata-mata sebuah buku yang berisi beberapa peristiwa dalam hidup atau sekadar mencatat aktivitas selama ramadan saja. Buku harian ramadan dapat dikembangkan menjadi catatan kemajuan dan perkembangan diri setiap anak karena ada pikiran, renungan, dan apapun yang dialami atau dirasakan sehingga ditulis semuanya ke dalam buku tersebut.

Suasana ramadan masa kecilku nyatanya dipenuhi kisah-kisah religi yang membentuk jati diri sebagai seorang muslim sampai saat ini. Ikut pesantren kilat, i'tikaf bareng, buka puasa bersama dengan membawa bekal masing-masing, keliling komplek membangunkan sahur, sampai terjebak kenakalan-kenakalan khas ramadan seperti perang sarung, main petasan, atau kembang api. Ada juga permainan-permainan seperti monopoli, ular tangga, atau ludo yang dimainkan sambil menunggu waktu buka puasa tiba.

Bahagia itu sederhana, nostalgia salah satunya. Bila ada lorong waktu, aku ingin kembali melihat buku harian ramadan itu. Aku ingin  mengingat kenangan bahwa masa kecilku pernah bahagia saat mengisi buku harian ramadan dengan kejujuran dan keikhlasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun