Mohon tunggu...
Achmad Humaidy
Achmad Humaidy Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger -- Challenger -- Entertainer

#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Pejuang Perfilman Indonesia

27 Agustus 2020   21:59 Diperbarui: 27 Agustus 2020   22:05 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Usmar Ismail bersama Djamaluddin Malik dan Budiardjo, Menteri Penerangan (sumber: Sinematek Indonesia, 1968)

Terbangun aku, terloncat duduk
Kulayangkan pandang jauh keliling,
Kulihat hari tlah terang, jernihlah falak
Telah lamalah kiranya fajar menyingsing

Kuisap udara
Legalah dada,
Kupijak tanah
Tiada guyah
Kudengar bisikan
Hatiku rawan:
"Kita berperang, Kita berjuang!"

Sebagai dendang menyayu kalbu
Bangkitlah hasrat damba nan larang
Ingin ke medan ridlah menyerbu:
"Beserta saudara turut berjuang!"

Puisi "Kita Berjuang" jadi karya dari pejuang perfilman Indonesia yang dikenal dengan nama Usmar Ismail. Sajak-sajaknya bernafaskan cinta tanah air dan penolakan terhadap penjajahan Belanda. Ia turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan menjadi tentara. Pangkat terakhir yang Ia sandang dalam kemiliteran yaitu mayor. Walau Ia telah jadi orang militer, tapi bidang sastra tetap ditekuni.

Bersama Cornel Simanjuntak, beliau pernah menciptakan lagu perjuangan berjudul Pada Pahlawan dan Teguh Kukuh Berlapis Baja. Bukan hanya sebagai penyair dan pencipta lagu, Usmar Ismail dikenal sebagai produser, sutradara, dan penulis skenario film nasional. Layak jika kata 'pahlawan' tersemat untuk perjuangannya sejak masa dahulu kala.

Sejarah lahir Hari Film Nasional diinisiasi eksistensi Usmar Ismail. Hari pertama pengambilan gambar film Darah & Doa (Long March of Siliwangi) menjadi pencetus hari bersejarah itu. Film lokal tersebut kental diproduksi tahun 1950 dengan ciri khas Indonesia. Selain sebagai sutradara filmnya, Ia juga memproduseri film itu di bawah naungan Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia). Perusahaan tersebut didirikan bersama kawan dekatnya, Rosihan Anwar.

Sejarah perfilman Indonesia sendiri sudah mulai dari zaman Hindia Belanda. Tapi, semangat film nasional kembali dibangkitkan Usmar Ismail pada masa kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Ibaratnya, tonggak sejarah perfilman Indonesia sebenarnya mulai ditancapkan.

Di waktu revolusi, Usmar membentuk gerakan "Seniman Merdeka". Ia bersama kawan-kawannya masuk kampung keluar kampung untuk berpidato sambil menyanyi, main musik, dan agitasi. Tujuannya yaitu membangkitkan semangat patriotisme dan revolusi kemerdekaan rakyat Indonesia.

Usai kemerdekaan diraih, banyak orang terutama para veteran coba menghilangkan ingatan tentang masa-masa kekacauan pada awal revolusi kemerdekaan. Tapi, Usmar Ismail mengingatkan masa-masa kelam itu melalui karya Lewat Djam Malam di tahun 1954. Ia melihat bagaimana sejumlah pihak berlatar tentara raih jabatan tinggi.

Jatuh bangun Usmar Ismail mengiringi langkah kehidupannya. Ia pernah menggugat peredaran film. Film-film impor eks Amerika mendominasi masa putar sebagian besar gedung-gedung bioskop di seluruh Indonesia. Penguasa gedung bioskop terlalu menganaktirikan film Indonesia. Sekali waktu Usmar terpaksa mendobrak dengan jalan kekerasan.

Nasib film Indonesia masih jauh dari upaya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Tak ada kebijakan Pemerintah untuk melindungi karya anak negeri. Pengembangan kreativitas Usmar juga terhadang sensor yang asal gunting. Artinya, sensor yang dikenakan tidak adil dan memasung kemerdekaan kreativitas para seniman film.  

Iklim politik masa itu merupakan kendala terberat baginya. Kecaman-kecaman dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekrat), organisasi sayap PKI sering menderanya. Peredaran Film Tamu Agung dan Film Anak Perawan di Sarang Penyamun dicaci maki oleh PKI karena Usmar tertuduh sebagai kaki tangan imperialis Amerika. Kondisi demikian membuat Usmar sulit memilih tema dalam setiap filmnya.

Namun, Usmar dan tim produksi film terus bergerilya. Di tahun 1956, Ia memproduksi film Tiga Dara. Indriati Iskak, Mieke Wijaya, dan Chitra Dewi tampil sebagai bintang dalam karya legendaris Usmar Ismail tersebut. Lewat film Tiga Dara, Ia mendobrak pemikiran produser yang hanya berpikir soal komersil saja. Keuntungan materi bukan tujuan utama Usmar Ismail dalam membuat film.

Karya filmnya selalu mengesankan kejujuran. Film zaman old yang berjudul Asrama Dara karya Usmar Ismail juga jadi jejak bukti sejarah perfilman tanah air di tahun 1958. Ada masalah pelecehan di transportasi umum yang diangkat dan terus terjadi sampai sekarang.

Selain film, tokoh yang berasal dari etnis Minangkabau ini pernah menjabat sebagai redaktur pelaksana Harian Rakyat dan ketua Persatuan Wartawan Indonesia (1947). Pada rentang tahun yang sama, Ia juga aktif sebagai ketua Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI). Sebagai budayawan, Usmar ditunjuk menjadi ketua umum Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi tahun 1962-1969).

Sebelum menghadap ke Sang Pencipta, Usmar Ismail menggarap film terakhir berjudul Ananda. Lenny Marlina dan Rachmad Hidayat didapuk sebagai pemeran utama dalam film tersebut. Akhirnya, Usmar Ismail pergi meninggalkan perfilman Indonesia untuk selamanya di awal tahun 1971. Pendarahan otak menjadi kisah akhir hayatnya. Kehilangan besar itu menyisakan sesak di dada para sineas perfilman lokal pada masanya.

Banyak apresiasi yang telah diberikan untuk menghargai jasa-jasanya. Usmar Ismail pernah dianugerahi Bintang Mahaputra oleh Presiden yang menjabat kala itu. Kegigihan memperjuangkan legitimasi film nasional patut dihargai. Almarhum bukan hanya sebagai peletak dasar perfilman Indonesia, tetapi juga seorang kreator berjiwa nasionalisme yang kental. Simbol-simbol kebangsaan selalu mewarnai gerak kehidupannya, baik dalam bidang sosial maupun kebudayaan.

Prangko versi foto Usmar Ismail | lastdodo.com
Prangko versi foto Usmar Ismail | lastdodo.com
Di tahun 1997, Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (Deparpostel) menerbitkan prangko baru seri tokoh Indonesia. Wajah dari Usmar Ismail, WR. Supratman, dan lukisan Affandi diabadikan dalam seri prangko tersebut.

Namanya kian abadi saat sebuah gedung tersemat nama Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail. Gedung yang berlokasi di Rasuna Said, Jakarta Selatan ini bisa dikunjungi siapa saja. Gedung ini berfungsi sebagai gedung pertunjukkan, sarana penerangan, dan pendidikan perfilman.

Terakhir, festival penghargaan bagi insan film digelar dengan tajuk Usmar Ismail Awards pada tahun 2017. Festival penghargaan ini diperingati untuk menghormati pejuang perfilman Indonesia tersebut. Sebagai pribumi yang telah jadi pelopor perfilman nasional, Ia begitu menginspirasi.

Karakter Usmar Ismail telah menunjukkan kepada dunia bahwa putra-putri Indonesia mampu membuat film yang berkualitas. Idealisme dan dedikasi Usmar yang dilandasi semangat nasionalisme begitu penting diaktualisasikan dalam proses kreatif sineas zaman now. Film bagi Usmar ialah bagian kebudayaan yang harus dibuat dengan landasan moral dan tanggung jawab.

Bagaimanapun harus diakui, perkembangan film Indonesia dewasa ini didahului berkat jasa dan perjuangan Usmar Ismail. Gagasan dan pemikirannya penting diaktualisasikan dalam iklim dan mekanisme perfilman nasional yang penuh tantangan saat ini. Usmar Ismail menginginkan karya film Indonesia dapat berkontribusi dengan berbagi nilai-nilai positif nasionalis guna pembangunan bangsa. Indonesia harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan menjadikan film sebagai tontonan serta tuntunan.

Kabarnya, film Lewat Djam Malam yang pernah diproduksinya akan diedarkan kembali oleh Criterion (institusi distribusi DVD) pada bulan September tahun 2020. Semoga sineas perfilman Indonesia bisa memproduksi atau mengumpulkan kembali film-film karya Usmar Ismail untuk dirajut menjadi karya utuh sehingga bisa dinikmati masa kini.

Pasang surut perfilman nasional masih berlangsung sampai hari ini. Orang-orang film harus mampu melanjutkan cita-cita dan perjuangan Usmar Ismail guna mewujudkan film Indonesia yang nasionalis. Indonesia butuh pengganti Usmar Ismail dalam membina perfilman lokal. Siapa penggantinya? Bisa jadi kita yang terus berjuang demi kemajuan film Indonesia.

Tulisan ini dibuat dari berbagai sumber kepustakaan perfilman nasional yang diambil berdasar catatan kliping Perpustakaan Nasional RI*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun