Mohon tunggu...
Achmad Humaidy
Achmad Humaidy Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger -- Challenger -- Entertainer

#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Filosofi Kopi 2 The Movie, Tanpa Rasa, Meski Punya Nyawa

28 Juli 2017   06:45 Diperbarui: 28 Juli 2017   08:59 2222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.detik.com

Its too much drama. Terlalu banyak unsur 'kebetulan' yang sengaja ditampilkan. Saat adegan ayah Ben meninggal, suasana duka dibalut dengan kondisi cuaca hujan. Entah hujan alami atau buatan, namun terkesan dipaksakan. Selain itu, tampak letupan kembang api dan petasan yang disuguhkan saat Ben dan Brie saling berbagi kisah dari hati ke hati. Tapi, tidak jelas apakah atmosfer tersebut dideskripsikan dalam nuansa tahun baru atau diciptakan sebatas dramatisir suasana. Adegan lain beberapa motor juga sengaja ditata tengah malam terparkir rapi di depan kedai Filosofi Kopi yang sudah tutup.

Kepadatan adegan pun membuat durasi dalam setiap momen berkurang. Adegan membersihkan kedai kopi yang begitu kotor, sekejap langsung selesai begitu saja. Hanya menyisakan tikus-tikus kecil sebagai animal property tambahan. Cerita pun semakin fiksi layaknya sinetron-sinetron di televisi.

Setiap pengambilan gambar tampak tidak ada motivasi yang jelas dan fokus. Dengan dalih, ingin memperlihatkan kekhasan 6 kota di Indonesia dengan ciri khas masing-masing justru tidak mampu tersampaikan secara visual. Ada insert scene yang menyorot peninjauan tempat untuk membuka cabang kedai kopi baru di Yogyakarta dan Makassar, namun itu hanya selintas saja. Kemunculan transisi lokasi-lokasi film seperti Toraja dan Lampung juga ditampilkan dalam konteks visual yang cukup mengganggu. Jika menghilangkan transisi ini rasanya tidak akan meninggalkan esensi cerita.

Dibalik kehilangan rasa cerita yang kuat, color tone tampak memanjakan penonton dan dilengkapi dengan tata suara yang menghentak suasana. Setiap adegan hubungan emosional bromance atau chemistry antara Ben dan Jody juga menjadi daya tarik dalam film ini. Mereka mengalami konflik, namun hidup damai penuh toleransi antar sahabat begitu kental. Penonton diajak mengenal lebih dalam sosok Ben dan Jody dalam keseharian dengan penggunaan bahasa sehari-hari.

Tak perlu menyakiti satu sama lain karena Ben dan Jody akhirnya memilih jalan hidup dengan sendirinya. Pengembangan karakter untuk transformasi filosofi hidup coba dibawa hingga akhir cerita. Ben dan Jody tetap hadir memberi nyawa.

Nadine Alexandra juga sanggup memberi nyawa segar sebagai Brie. Seorang wanita sarjana pertanian lulusan Melbourne, ternyata bukan orang baru dalam dunia kopi. Awalnya diremehkan untuk menjadi barista handal karena hanya mengenal kopi sejak kuliah. Dengan semangat pembuktiannya sebagai proses belajar dari penelitian lebih dalam yang pernah dilakukan terhadap seluk beluk kopi sejak dari benih, Ia pun tampil menyentuh halus kecongkakan Ben secara mulus hingga akhir cerita. Kecerdasan sebagai aktris pendatang baru dalam menerjemahkan tokoh begitu bagus.

Namun, dramatisasi karakter justru terjadi. Figuran-figuran mengajak selfie bersama barista (Ben) dalam adegan menjadi distorsi. Ditambah penokohan Tarra yang sudah memilih Luna Maya sebagai pemerannya malah tidak bisa dihayati dengan baik. Sensualitas Luna mulai berkurang sebagai wanita cantik dewasa yang memikat pemuda sekelilingnya sejak awal in frame. Kerutan di wajah justru tampak dan tak ada alasan logis dari sosok Ben yang tiba-tiba jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap Tarra. Akting Luna Maya saat sedih pun tak membuat penonton iba karena hanya terlihat sebagai 'air mata buaya' ketika menangis di kedai Kopi Ujung, Makasar.

@LunaMaya26
@LunaMaya26
     

Ada unsur karakterisasi juga yang bertolak belakang dengan Jody. Seorang lulusan luar negeri yang berpikir penuh pertimbangan, pragmatis, dan tenang, malah tidak mampu menjaga perkataan yang disampaikan. Dialog satire yang terucap dari Jody menyiratkan kehidupan keras seperti di jalanan. Apakah pecinta kopi berpendidikan identik mengucapkan kata-kata 'Tai', 'Anjing', 'Babi', dan sebagainya?.. Rasanya tidak.

Intrepretasi terhadap pengalaman hidup yang telah dilalui Ben dan Jody pun tak bisa menjadi referensi mendalam untuk introspeksi. Kekuatan dialog maupun kontemplasi kata tak terbentuk menjadi point of view yang bisa dibawa oleh penonton. Kebersamaan yang tercipta atas nama persahabatan pun cukup tanggung jika diejawantahkan sebagai film bertema persahabatan.

Oleh sebab itu, happy ending dibuat untuk memaksakan ada kebahagiaan masing-masing dari karakter yang tercipta. Klise dan masih sama seperti film-film layar lebar lainnya. Overall, penulis terganggu dengan cerita yang masih membelenggu dan kaku karena tak bisa memberi impresi seperti debut filosofi kopi tahun lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun