Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ki Ageng Suryamentaram antara Gelimang Harta dan Politik

22 Januari 2020   06:28 Diperbarui: 22 Januari 2020   06:28 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Araska Publisher

Karena persoalan yang berhubungan langsung dengan keluarganya, Ki Ageng Suryomentaram tidak merasa nyaman tinggal di dalam istana Kesultanan Yogyakarta. Bahkan Suryomentaram merasa mendapatkan tekanan kejiwaan yang sangat berat. 

Akibatnya, Suryomentaram ingin melakukan bunuh diri dengan cara menceburkan diri di sungai Opak sewaktu akan pergi ke Parangtritis. Tetapi hasrat Suryomentaram untuk melakukan bunuh diri tersebut mengalami kegagalan. 

Dari balik peristiwa itu, Suryomentaram justru mendapat pengetahuan batin di mana ia tidak bisa mati. Pengalaman itu disampaikan oleh Suryomentaram kepada istrinya yang baru saja tertidur lelap.

Dengan tidak merasa nyaman lagi ketika menghadapi persoalan keluarganya, Ki Ageng Suryomentaram kembali meninggalkan dari lingkup kehidupan istana Kesultanan Yogyakarta. 

Kembali menggelandang dengan menyamar sebagai rakyat biasa yang selalu mengenakan pakaian sederhana dan bertambal-tambal. Bekerja keras untuk mendapatkan penghasilan guna mencukupi kebutuhan hidup kesehariannya.

Pada tahun 1920, Ki Ageng Suryomentaram kembali dihadapkan pada persoalan keluarganya. Sri Sultan Hamengkubuwana VII turun tahta karena menurut berita diasingkan oleh GPH Puruboyo putranya ke Ambarukma. 

Persoalan politis di dalam istana Kesultanan Yogyakarta ini semakin memantapkan pilihan hidup Suryamentaram sebagai rakyat biasa semakin tinggi. Rakyat biasa yang tidak pernah berpikir untuk hidup bahagia tanpa harus menjadi penguasa yang penuh bergelimang harta benda.

 Fakta bahwa Ki Ageng Suryomentaram tidak berpikir dengan kekuasaan dapat ditunjukkan dengan tidak melakukan intervensi terhadap konflik antara Sri Sultan Hamengkubuwana VII ayahnya dengan GPH Puruboyo saudaranya. 

Sungguhpun begitu, Suryomentaram tetap datang melayat dan memanggul jenazah ayahnya serta berpamitan kepada saudaranya yang telah menjadi raja di Kesultanan Yogyakarta untuk meninggalkan lingkup kehidupan istana selama-lamanya.

Sewaktu berpamitan kepada Sri Sultan Hamengkubuwana VIII, Ki Ageng Suryomentaram bersedia menerima uang sebagai perbekalan dalam pengembaraannya. Namun Suryomentaram menolak pemberian uang pensiun dari pemerintah Hindia Belanda. Dengan alasan, Suryomentaram tidak mau terikat dengan bangsa kolonial tersebut.

Dikisahkan sesudah meninggalkan istana Kesultanan Yogyakarta untuk selama-lamanya, Ki Ageng Suryomentaram membeli tanah di desa Bringin, Salatiga. Di sana, Suryomentaram hidup sebagai rakyat biasa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun