Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Prahara di Masa Awal Majapahit paska Bagi-Bagi Jabatan

15 Juli 2019   03:34 Diperbarui: 15 Juli 2019   03:35 1915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KAKAWIN Nagarakretagama menyebutkan bahwa pendiri Kerajaan Majapahit adalah Dyah Wijaya yang diidentikkan dengan Raden Harsawijaya (Serat Pararaton), Nararya Sanggramawijaya (Prasasti Kudadu), atau Jaka Susuruh (Babad Tanah Jawa).

Sebelum Majapahit berdiri atau seusai Singhasari dikuasai oleh Jayakatwang dari Gelanggelang pada tahun 1292, Dyah Wijaya yang disebut Raden Wijaya hidup terlunta-lunta beserta pera pengikutnya: Lembu Sora, Nambi, Mahesa Nabrang, dll.

Berkat usulan Arya Wiraraja yang merupakan dalang tergulingnya kekuasaan Kertanagara dari tahta Singhasari oleh Jayakatwang, Dyah Wijaya mendapatkan wilayah Tarik sebagai pedukuhannya. Manakala pasukan Tartar datang di tanah Jawa untuk berbalas dendam pada Kertanagara, Dyah Wijaya memanfaatkan pasukan tersebut untuk menggulingkan kekuasaan Jayakatwang dari bumi Singhasari.

Sesudah kekuasaan Jayakatwang berakhir dan pasukan Tartar diusir dari Jawa, Dyah Wijaya menobatkan diri sebagai raja di Majapahit. Pada saat itu, Dyah Wijaya yang menjabat sebagai raja bergelar Kertarajasa Jayawardhana (Nararya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana Anantawikramottunggadewa) memberikan anugerah berupa jabatan dan wilayah kekuasaan kepada seluruh pengikut setianya yang turut berjuang mewujudkan impiannya sebagai raja.          

Oleh Dyah Wijaya, Arya Wiraraja yang turut merealisasikan berdirinya Kerajaan Majapahit diberi jabatan Pasangguhan serta wilayah Lumajang hingga Blambangan. Ranggalawe mendapat jabatan Pasangguhan dan diangkat menjadi Adipati di Tuban. Nambi mendapat jabatan Rakryan Mahapatih (Perdana Menteri). Lembu Sora diangkat sebagai Patih (Perwakilan Raja) di Daha.

Perang di Sungai Tambak Beras

BERMULA dari pemberian jabatan oleh Dyah Wijaya pada seluruh pengikutnya tersebut justru menimbulkan perselisihan antara Ranggalawe dengan Dyah Wijaya. Ranggalawe menilai bahwa Dyah Wijaya bersifat tidak adil dan tidak bijaksana. Menurut pandangan Ranggalawe, seharusnya Lembu Sora yang memangku jabatan patih dan bukan Nambi. Mengingat pengabdian Lembu Sora kepada Dyah Wijaya lebih besar ketimbang Nambi.

Apa yang dirasakan Ranggalawe atas ketidakadilan itu diungkapkan pada Dyah Wijaya. Namun, raja tetap bersikukuh pada keputusannya, sekalipun Ranggalawse menganggap tidak adil dan tidak bijaksana. Atas keputusan raja yang tidak dapat diubah lagi itu, Ranggalawe kecewa dan pulang ke Tuban.

Beberapa hari sesudah kepergian Ranggalawe dari Majapahit, Halayuda menghasut Nambi kalau Ranggalawe tengah merencanakan pemberontakan. Mendengar pernyataan Halayuda; Dyah Wijaya memerintahkan Nambi, Lembu Sora, Mahisa Nabrang, beserta pasukan Majapahit pergi ke Tuban untuk menangkap Ranggalawe.

Kidung Ranggalawe mengisahkan ketika Arya Wiraraja mendengar Ranggalawe pulang ke Tuban segera menemuinya. Dari perilaku Ranggalawe, Arya Wiraraja menangkap sesuatu yang buruk bakal menimpa putranya. Arya Wiraraja bertanya pada Ranggalawe tentang apa yang terjadi ketika menghadap Dyah Wijaya. Manakala mendapat jawaban dari Ranggalawe, Arya Wiraraja merasa dihadapkan pada pilihan dilematis: cinta pada putranya atau tetap setia pada Dyah Wijaya.

Selang beberapa saat, Arya Wiraraja memberikan nasihat pada Ranggalawe agar tetap setia pada Dyah Wijaya. Karena nasihatnya hanya dianggap angin lalu oleh Ranggalawe, Arya Wiraraja memanggil para Menteri, Kepala Desa, Akuwu, dan Demang untuk memersiapkan pasukan yang akan digunakan sebagai kekuatan untuk menghadapi serangan pasukan Majapahit.

Pasukan Ranggalawe yang sudah terbentuk itu meninggalkan Tuban. Manakala pasukan Ranggalawe akan menyeberangi Sungai Tambak Beras, airnya sedang pasang. Hingga pasukan Ranggalawe dapat dikejar oleh pasukan Majapahit yang berada di bawah komando Nambi. Pasukan Ranggalawe itu berakhir mengalami kenaasan di tangan pasukan Majapahit.

Hari berikutnya, pasukan Majapahit menyeberangi Sungai Tambak Beras untuk mencapai Tuban. Melihat kenyataan itu, Mantri Gagarangan dan Tambak Baya melapor pada Ranggalawe. Dengan gelegak amarah di dada, Ranggalawe memerintahkan pasukannya untuk menghadapi pasukan Majapahit.

Di medan laga, Ranggalawe yang mengendarai kuda Mega Lamat itu bertempur melawan Nambi yang mengendarai kuda Brahma Cikur. Pertempuran keduanya berlangsung sangat dahsyat. Hingga akhirnya Brahma Cikur berhasil ditikam oleh Ranggalawe. Namun, Nambi berhasil mengelak dan berlari untuk menyelamatkan diri ke selatan. Beserta pasukannya, Ranggalawe melakukan pengejaran hingga Sungai Tambak Beras.

Berita kekalahan pasukan Majapahit oleh pasukan Tuban disampaikan oleh Hangsa Terik pada Dyah Wijaya. Mendengar laporan itu, Dyah Wijaya bersumpah untuk menghancurkan Kotapraja Majapahit kalau tidak berhasil menaklukkan Ranggalawe. Beserta pasukannya, Dyah Wijaya menuju Tuban. Pertempuan pasukan Majapahit dan Tuban pun tidak dapat dihindari.

Untuk menghindari semakin banyaknya korban berjatuhan, Lembu Sora meminta izin pada Dyah Wijaya untuk menghadapi Ranggalawe. Dyah Wijaya mengizinkan. Ranggalawe dikepung dari tiga arah. Mahisa Nabrang dari timur. Gagak Sarkara dari barat. Majang Mekar dari utara.

Pertempuran sengit terjadi di arah timur. Mahisa Nabrang berperang melawan Ranggalawe. Kuda Mahisa Nabrang berhasil dilumpuhkan oleh Ranggalawe, namun penunggangnya berhasil menyelamatkan diri. Hari selanjutnya, Mahisa Nabrang berperang lagi melawan Ranggalawe. Peperangan keduanya berlangsung di seberang Sungai Tambak Beras.

Peperangan berlangsung semakin sengit. Ranggalawe dan Mahisa Nabrang berperang dengan ilmu kanuragan yang dimilikinya. Peperangan berlanjut di dalam air. Ranggalawe berhasil mendesak Mahisa Nabrang. Namun ketika sampai di tengah, Mahisa Nabrang berhasil menikam kuda Ranggalawe. Akhirnya Ranggalawe yang terpeleset batu itu berhasil ditenggelamkan ke dalam air oleh Mahisa Nabrang. Sesudah kehabisan napas, Ranggalawe gugur di tempat itu. Mengetahui Ranggalawe tewas, Lembu Sora menikam Mahisa Nabrang dari belakang. Panglima perang Majapahit itupun tewas.

Sepeninggal Ranggalawe (1295), Arya Wiraraja yang merasa sakit hati itu menghadap Dyah Wijaya untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Menagih janji Dyah Wijaya sebagaimana pernah diucapkan di Sumenep (Perjanjian Songeneb) yakni membagi wilayah Kerajaan Majapahit menjadi dua bagian. Janji itu dipenuhi oleh Dyah Wijaya. Majapahit bagian timur hingga selatan sampai pantai diserahkan pada Arya Wiraraja. Sesudah mendapat wilayah kekuasaan, Arya Wiraraja menjadi raja Majapahit Timur dengan ibukota di Lumajang. Sementara, Majapahit Barat dengan pusat pemerintahan di Majakerta tetap dikuasai oleh Dyah Wijaya.

Pembantaian Lembu Sora dan Pengikutnya

PERISTIWA perang antara Majapahit dengan Tuban di Sungai Tambak Beras merupakan awal prahara yang menimpa Lembu Sora. Dikarenakan sewaktu Lembu Sora menikam dari belakang pada Mahisa Nabrang yang baru saja membunuh Ranggalawe itu dilaporkan Halayuda pada Dyah Wijaya.

Mendengar laporan itu, Dyah Wijaya mengutus Halayuda untuk menghadap Lembu Sora ke Daha. Setiba di Daha, Halayuda menyampaikan amanat Dyah Wijaya bahwa Lembu Sora akan dihukum buang ke Tulembang. Karena tidak ingin dipermalukan di hadapan rakyat Majapahit, Lembu Sora memilih dihukum mati dari Dyah Wijaya ketimbang dihukum buang. Disertai Gajah Biru dan Juru Demung, Lembu Sora pergi ke Majapahit.

Halayuda yang berhasrat menyingkirkan Lembu Sora itu pergi ke Majapahit terlebih dahulu. Melapor pada Dyah Wijaya bahwa Lembu Sora akan melakukan pemberontakan pada Majapahit. Mendengar laporan itu, Dyah Wijaya memerintahkan pasukan pengawal raja untuk menghadapi Lembu Sora.

Sesudah berhadapan dengan Lembu Sora yang disertai Gajah Biru dan Juru Demung itu, pasukan pengawal raja itu menyerangnya. Karena tidak membawa pasukan dan senjata, Lembu Sora beserta Gajah Biru dan Juru Demung tewas dibantai beramai-ramai. Melihat kematian Lembu Sora, Halayuda merasa senang. Mengingat tinggal seorang lagi yakni Nambi yang menjadi penghalang untuk mewujudkan ambisinya menjadi Rakryan Mahapatih di Majapahit.[Sri Wintala Achmad]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun