Selanjutnya bila dilakukan oleh punggawa, kerabat raja, atau lawan politik; maka makar bisa diperkirakan untuk merebut kekuasaan. Hal ini dibuktikan sewaktu Dyah Wijaya melakukan makar terhadap Jayakatwang. Sungguhpun Dyah Wijaya berstatus sebagai bawahan, namun esensinya sebagai lawan politik Jayakatwang yang memiliki ambisi besar untuk menjadi raja paska runtuhnya kekuasaan Kertanagara di Singhasari.
Karenanya sesudah berhasil menggalang pasukan gabungan Tartar dan pengikutnya, Dyah Wijaya melakukan makar terhadap Jayakatwang. Paska tergulingnya kekuasaan Jayakatwang, Dyah Wijaya menobatkan diri sebagai Raja Majapahit.
Dalam sejarah Majapahit, esensi makar Dyah Wijaya terhadap Jayakatwang tersebut tidak pernah dikemukakan. Hal ini wajar, karena para penulis kakawin dan naskah babad cenderung mengungkapkan bahwa apa yang dilakukan Dyah Wijaya terhadap Jayakatwang sebagai bentuk balas dendanm atas makar yang dilakukan Raja Daha tersebut kepada Kertanagara.
Berkaitan dengan makar, cerita tutur menyebutkan, "Ranggalawe, Lembu Sora, dan Nambi diangggap oleh sebagian masyarakat telah melakukan makar terhadap kekuasaan Dyah Wijaya."
Bila dikaji lebih jauh dan mendalam, cerita tutur di muka tidak selaras dengan fakta sejarah. Di mana, Ranggalawe, Lembu Sora, dan Nambi tidak pernah melakukan makar terhadap kekuasaan Dyah Wijaya. Ketiga tokoh Majapahit itu hanya dituduh akan melakukan makar terhadap Majapahit sesudah Dyah Wijaya mendapat laporan palsu dari Halayuda.
Gajah Mada
Pada umumnya, masyarakat menganggap Gajah Mada merupakan patih terbesar di Majapahit -- suatu kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang berlangsung pemerintahannya sejak pemerintahan Dyah Wijaya hingga Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.
Dalam buku Gajah Mada, Pahlawan Persatuan Nusantara karya Muhamad Yamin yang terbit pada tahun 1945, tokoh Gajah Mada sangat ditonjolkan. Melihat judulnya saja bisa diduga bahwa buku ini mengisahkan perihal kepahlawanan Gajah Mada dari Majapahit.
Melalui buku tersebut, Muhamad Yamin menampilkan foto sekeping terakota yang mewujud wajah lelaki berpipi tembem dan berbibir tebal. Di bawah foto sosok itu, Yamin menuliskan: "Gajah Mada.... Rupanya penuh dengan kegiatan yang maha tangkas dan air mukanya menyinarkan keberanian seorang ahli politik yang berpemandangan jauh."
Akan tetapi, Hasan Djafar -- seorang arkeolog dan ahli sejarah kuna dari Universitas Indonesia -- menyebutkan kepingan terakota yang berada di Museum Trowulan tersebut sejatinya merupakan bagian dari celengan kuna. Dengan demikian, kepingan terakota tersebut tidak memiliki kaitan dengan sosok Gajah Mada. Sehingga sosok Gajah Mada yang sampai sekarang diidentikkan oleh masyarakat dengan kepingan terakota tersebut bukan sosok Gajah Mada. Pengertian lain, sosok Gajah Mada masih misterius.
Kemisteriusan Gajah Mada bukan sekadar terbatas pada sosok fisiknya, melainkan pula masih banyak seperti yang dikemukakan oleh Agus Aris Munandar dalam bukunya bertajuk Gajah Mada: Biografi Politik (2010). Kemisterius tersebut meliputi mitos kelahiran dan nama asli Gajah Mada, serta pasukan Bhayangkara dan Sumpah Palapa yang tidak pernah berhasil menguasai wilayah Nusantara.