Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sejarah Pemberontakan dari Era Medang hingga Surakarta

25 Juni 2019   06:53 Diperbarui: 25 Juni 2019   07:01 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.gurusejarah.com 

BERDASARKAN Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pemberontakan mengandung arti proses, cara, perbuatan memberontak, serta penentangan terhadap kekuasaan yang sah. Namun menurut pandangan umum, pemberontakan dimaknai sebagai penolakan terhadap otoritas penguasa atau pemimpin yang tengah berkuasa di suatu wilayah atau negara tertentu.

Timbulnya aksi pemberontakan yang menurut pimpinan pemberontakan sebagai gerakan revolusi dimulai dari pembangkangan sipil (civil disobedience) hingga kekerasan terorganisir yang berupaya meruntuhkan otoritas yang ada. Tujuan substansi pemberontakan adalah untuk menggantikan pemerintahan yang ada dengan pemerintahan yang baru, pemerintahan idaman para pemberontak.

Dalam sejarah kerajaan-kerajaan di tanah Jawa sejak era Medang (periode Jawa Tengah) hingga Kasunanan Surakarta diwarnai dengan aksi pemberontakan yang dilakukan para pemberontak yang bertujuan untuk melawan atau menggulingkan otoritas raja. Berikut adalah catatan aksi pemberontakan yang dicatat dalam sejarah kerajaan-kerajaan di tanah Jawa:   

Pemberontakan Era Medang Periode Jawa Tengah 

Di era Medang, pemberontakan dimulai oleh Dyah Pancapana Rakai Panangkaran dari Dinasti Sailendra (dinasti yang memeluk agama Buddha). Motivasi pemberontakan Dyah Pancapana adalah untuk meruntuhkan otoritas Ratu Sanjaya, raja pertama atau pendiri Medang yang beragama Hindu. Sejak tergulingnya kekuasaan Ratu Sanjaya hingga pemerintahan Dyah Samaratungga, Medang dikuasai raja-raja beragama Buddha. Pemerintahan Medang baru dikuasai Dinasti Sanjaya sejak Mpu Manuku (Rakai Pikatan, Rakai Patapan, atau Rakai Mamrati) menjabat sebagai raja bersama permaisurinya Pramodhawardhani (putri Dyah Samaratungga) dari tahun 838 hingga 855.

Semasa pemerintahan Mpu Manuku, Medang kembali diwarnai aksi pemberontakan yang dilakukan Mpu Kumbhayoni Rakai Walaing. Namun pemberontakan Mpu Kumbhayoni yang berasal dari Dinasti Sanjaya itu tidak membawa hasil sesudah mampu ditaklukkan oleh Dyah Lokapala Rakai Kayuwangi (putra bungsu Mpu Manuku dan Pramodhawardhani).

Dyah Lokapala yang berhasil memadamkan pemberontakan Mpu Kumbhayoni kemudian dinobatkan oleh Mpu Manuku sebagai raja Medang pada tahun 855. Karena merasa sebagai putra sulung Mpu Manuku dan Pramodhawardhani, Dyah Saladu (Dyah Badra) Rakai Gurunwangi dan Dyah Dewendra Rakai Limus melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Dyah Lokapala. Pemberontakan itu membawa hasil gemilang. 

Semasa pemerintahan Dyah Balitung Rakai Watukura (menantu Mpu Teguh Rakai Watuhumalang), terjadi pemberontakan yang dilakukan Mpu Daksa Rakai Hino (putra Dyah Saladu). Karena keberhasilan pemberontakan tersebut, Mpu Daksa naik tahta sebagai raja Medang pada tahun 910.

Semasa pemerintahan Dyah Tulodong Rakai Layang (putra menantu Mpu Daksa), Medang kembali diwarnai aksi pemberontakan yang dilakukan oleh Dyah Wawa Rakai Sumba. Dalam pemberontakan itu, Dyah Wawa yang mendapatkan dukungan Mpu Sindok berhasil merebut tahta kekuasaan Medang dari Dyah Tulodong. Dengan demikian, Dyah Wawa menobatkan diri sebagai raja Medang pada tahun 924.

Pemberontakan Era Medang Periode Jawa Timur

Munculnya Medang periode Jawa Timur pada tahun 929, sesudah Mpu Sindok yang semula menjabat sebagai Rakryan Mapatih Hino di masa pemerintahan Dyah Wawa Rakai Sumba memindahkan pusat pemerintahan Medang di Bhumi Mataram (Jawa Tengah) ke Tamlang dan berakhir di Watugaluh (Jawa Timur). Mengingat istana Medang di Bhumi Mataram mengalami kehancuran karena lahar dingin pasca meletusnya Gunung Merapi pada tahun 928.

Tidak disebutkan secara pasti apakah semasa pemerintahan Mpu Sindok, terjadi peristiwa pemberontakan. Mengingat Prasasti Waharu yang berangka tahun 931 hanya menyinggung secara tersirat bahwa Medang pernah mendapatkan penyerangan dari musuh negara. Apakah musuh negara itu datang dari para pemberontak atau kerajaan lain tidak disebutkan secara pasti.

Pasca pemerintahan Mpu Sindok atau semasa pemerintahan Sri Isana Tunggawijaya dan berlanjut pada pemerintahan Sri Makuthawangsawardhana juga tidak diketahui apakah Medang pada saat itu terjadi aksi pemberontakan. Pemberontakan di era Medang periode Jawa Timur baru diketahui semasa pemerintahan Dhamawangsa Teguh. Pada saat itu, Haji Wurawari yang merupakan raja bawahan Medang melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Dharmawangsa Teguh sesudah tidak direstui untuk menikah dengan putrinya yakni Dewi Laksmi.

Pemberontakan Haji Wurawari dari Lwaram atas kekuasaan Dharmawangsa Teguh itu mendapatkan hasil gemilang karena mendapat bantuan pasukan Sriwijaya. Akibat dari pemberontakan Haji Wurawari itu, Dharmawangsa Teguh tewas beserta para tamu undangan resepsi pernikahan Dewi Laksmi dan Airlangga. Peristiwa tewasnya Dharmawangsa Teguh dan para tamu undangan itu dikenal dengan mahapralaya (kematian massal).

Pemberontakan Era Kadiri

Terbentuknya pemerintahan Kadiri sesudah Airlangga membagi Kahuripan menjadi dua bagian, yakni: Kadiri (Dhaha) dan Janggala. Dalam catatan sejarah, Kadiri sejak pemerintahan Sri Samarawijaya hingga Mapanji Jayabhaya tidak pernah mendapatkan serangan dari para pemberontak. Pemberontakan terjadi semasa pemerintahan Kertajaya.

Pemberontkan terhadap Kadiri bermula dari para pendeta Hindu dan Buddha yang tidak mau menyembah Kertajaya. Para pendeta itu kemudian bersekutu dengan Ken Arok yang berkuasa di Tumapel (wilayah bawahan Kadiri) pasca terbunuhnya Akuwu Tunggul Ametung untuk memberontak Kadiri.

Melalui pemberontakan Ken Arok yang mengaku sebagai Siwa, Kertajaya dapat dilengserkan dari tahta kekuasaannya. Sepeninggal Kertajaya, Ken Arok menobatkan diri sebagai raja Singhasari. Sementara Kadiri yang kemudian mengalami masa surut itu menjadi bawahan Singhasari.  

Pemberontakan Era Singhasari

Singhasari merupakan kerajaan yang muncul pasca Kadiri. Raja pertama Singhasari adalah Ken Arok (Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra). Menurut Pararaton, Ken Arok yang memimpin Singhasari selama 5 tahun (1222-1227) itu tewas bukan karena pemberontakan melainkan karena dendam Anusapati (Bhatara Anusapati). Karena Akuwu Tunggul Ametung ayahnya tewas di tangan Ken Arok, maka Anusapati membunuh Ken Arok melalui seorang berpangkat pengalasan dari Desa Batil dengan keris Mpu Gandring.

Sebagaimana Ken Arok, Anusapati yang telah menjabat sebagai raja Singhasari itu tewas kerena dendam. Siapa yang membunuh Anusapati? Tidak lain tidak bukan, Apanji Tohjaya yang merupakan putra Ken Arok dan Ken Umang. Melalui keris Mpu Gandring, Anusapati tewas ditikam Apanji Tohjaya ketika sedang bersabung jago.

Di masa pemerintahan Apanji Tohjaya, timbullah pemberontakan yang dilakukan Ranggawuni (putra Anusapati) yang mendapatkan bantuan Mahisa Campaka (putra Mahisa Wong Ateleng). Pemberontakan Ranggawuni itu menuai hasil. Apanji Tohjaya yang terluka ditusuk tombak oleh Ranggawuni itu melarikan diri dari Singhasari. Meninggal di Desa Lulumbang pada tahun 1250.

Pemberontakan kembali terjadi di Singhasari sesudah pemerintahan Ranggawuni yakni pemerintahan Kertanegera. Tahta kekuasaan Kertanegara digoyang oleh aksi pemberontakan yang dilakukan Kalana Bayangkara dan Cayaraja pada tahun 1270. Oleh Kertanegara, pemberontakan itu dapat dipadamkan. Namun ketika meletusnya pemberontakan Jayakatwang (bupati Gelanggelang) yang mendapatkan dukungan Aria Wiraraja, Patih Kebo Mundarang, Ardharaja, dan pasukan Jaran Guyang; Kertanegara berhasil digulingkan dari tahta kekuasaannya pada tahun 1292.

Pemberontakan Era Majapahit

Sesudah berhasil menggulingkan kekuasaan Jayakatwang melalui pasukan Tar Tar (Mongol), Dyah Wijaya mendirikan kerajaan bernama Majapahit atau Wilwatikta pada tahun 1293. Semasa pemerintahan Dyah Wijaya, Majapahit dilanda beberapa pemberontakan, yakni: pemberontakan Ranggalawe, serta pemberontakan Lembusora yang didukung Gajah Biru dan Juru Demung.

Di masa pemerintahan Jayanagara (1309-1328); Majapahit kembali digoncang oleh pemberontakan Mandana, Pawagal, dan Ra Semi; pemberontakan Nambi; dan pemberontakan Ra Kuti. Namun ketiga pemberontakan itu dapat diatasi oleh Jayanagara.

Majapahit kembali menghadapi persoalan pemberontakan penduduk Sadeng dan Keta semasa pemerintahan Dyah Gitarja atau Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328-1350), Namun, kedua pemberontakan itu dapat ditumpas oleh Tribhuwana Wijayatunggadewi.

Pemberontakan selanjutnya terjadi sewaktu Majapahit di bawah pemerintahan Wikramawardhana (istri Kusumawardhani/menantu Hayam Wuruk) dari tahun 1390 hingga 1428. Pada masa itu, Bhre Wirabhumi yang merasa berhak sebagai raja Majapahit karena sebagai putra Hayam Wuruk melakukan pemberontakan dengan menobatkan diri sebagai raja di Majapahit timur. Akbat dari pemberontakan Bhre Wirabhumi tersebut, meletusnya Perang Paregreg.

Majapahit kembali dilanda aksi pemberontakan semasa pemerintahan Dyah Kertawijaya (1447-1451). Oleh Rajasawardhana alias Bhre Matahun yang merupakan suami Indudewi alias Bhre Lasem, kekuasaan Dyah Kertawijaya digulingkan. Dengan demikian, Rajasawardhana menjabat sebagai raja di Kerajaan Majapahit (1451-1453).

Semasa pemerintahan Dyah Suprabhawa Bhre Pandansalas alias Sri Adi Suprabhawa Singhawikramawardhana Giripati Pasutabhupati Ketubhuta (1466-1474), Majapahit kembali dilanda aksi pemberontakan yang dilakukan Bhre Kertabhumi. Akibat dari pemberontakan itu, Dyah Suprabhawa melarikan diri ke Dayo (Dhaha). Dengan demikian, Bhre Kertabhumi menjabat sebagai raja Majapahit pada tahun 1474

Pada tahun 1486, kekuasaan Bhre Kertabhumi digulingkan oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (putra Dyah Suprabhawa). Sejak pemberontakan Girindrawardhana itu membawa hasil, riwayat Majapahit yang beribukota di Majakerta berakhir. Oleh Girindrawardhana, pusat pemerintahan Majapahit dipindahkan ke Dayo (Dhaha). Namun, kekuasaan Girindrawardhana berakhir sesudah digulingkan oleh Sultan Tranggana (putra Raden Patah/cucu Bhre Kertabhumi) pada tahun 1527.

Pemberontakan Era Kesultanan Demak

Bila merunut pada catatan sejarah, Kesultanan Majapahit berdiri pada tahun 1478. Dengan demikian, semasa Raden Patah (Sultan Jin-Bun) menjabat sebagai Sultan Demak, Bhre Kertabhumi ayahnya masih menjabat sebagai Raja Majapahit yang beribukota di Majakerta. Mengingat Bhre Kertabhumni memerintah Majapahit dari tahun 1474-1486.

Semasa menjabat raja di Kasultanan Demak, Raden Patah telah mendakwa Ki Ageng Pengging II (Radebn Kebo Kenanga) yang merupakan Bupati Pengging itu telah memberontak terhadap Demak karena tidak mau menghadap dan memberikan upeti kepadanya. Sesudah Ki Ageng Pengging II dijatuhi hukuman mati oleh Raden Patah, maka Pengging menjadi bawahan Kesultanan Demak.

Pemberontakan Era Kesultanan Pajang

Timbulnya Kesultanan Pajang sesudah surutnya Kesultanan Demak. Diketahui bahwa Kesultanan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijaya. Semasa pemerintahan Sultan Hadiwijaya (1549-1582), Raden Bagus (putra Ki Ageng Mataram atau Pemanahan) dari Mataram melakukan pemboikotan. Tidak menyerahkan upeti dan menghadap Sultan Hadiwijaya.

Karena diklaim telah memberontak dari Kesultanan Pajang, Sultan Hadiwijaya melakukan penyerangan terhadap Raden Bagus. Namun dalam peperangan melawan Mataram, Pajang mengalami kekalahan. Bahkan  sepulang berperang dengan Mataram, Sultan Hadiwijaya yang jatuh sakit itu kemudian meninggal dunia pada tahun 1582.

Di masa pemerintahan Arya Pangiri (menantu Sultan Hadiwijaya/putra Sunan Prawata) dari tahun 1583 hingga 1586, timbullah pemberontakan yang dilakukan oleh Pangeran Banawa (putra Sultan Hadiwijaya). Karena pasukan Pangeran Banawa (adipati Jipang) mendapatkan bantuan pasukan Mataram, otoritas Arya Pangiri sebagai sultan Pajang berhasil digulingkan. Dengan demikian, Pangeran Banawa naik tahta sebagai raja di Kesultanan Pajang dari tahun 1586 hingga 1587.

Pemberontakan Era Mataram 

Berkat Panembahan Senapati (Raden Bagus, Danang Sutawijaya), Mataram berdiri pada tahun 1587. Sebagaimana kerajaan-kerajaan sebelumnya, Mataram tidak luput dari persoalan aksi pemberontakan demi pemberontakan yang menelan korban harta, benda, dan nyawa.

Semasa pemerintahan Panembahan Senapati, timbul pemberontakan Adipati Pragola I dari Kadipaten Pati pada tahun 1600. Ketika pemerintahan Raden Mas Jolang (1601-1613), timbullah aksi pemberontakan yang dilakukan Pangeran Puger (putra Panembahan Senapati dengan Nyi Adisara) dan Pangeran Jayaraga (putra Panembahan Senapati dengan Mustikajawi). Akan tetapi, kedua pemberontakan itu dapat diatasi oleh Raden Mas Jolang.

Pemberontakan demi pemberontakan kembali timbul di Mataram semasa pemerintahan Sultan Agung. Pemberontakan-pemberontakan tersebut dilakukan oleh Adipati Pajang, Adipati Pragola II dari Kadipaten Demak, para ulama Tembayat, dan Adipati Ukur.      

Pemberontakan terakhir yang terjadi di Mataram semasa pemerintahan Sunan Amangkurat I, yakni pemberontakan Panembahan Ageng Giri dari Giri Kedaton dan Trunajaya. Pemberontakan Trunajaya itu membawa hasil gemilang. Karena otoritas Sunan Amangkurat I sebagai raja Mataram dapat digulingkan. Dalam pelariannya dari istana, Sunan Amangkurat I meninggal di Desa Wanayasa pada tangggal 13 Juli 1677.

Pemberontakan Era Kasunanan Kartasura

Kasunanan Kartasura didirikan oleh Raden Mas Rahmat (Sunan Amangkurat II) pada tahun 1680. Semasa pemerintahan Sunan Amangkurat II, timbullah pemberontakan Pangeran Puger, Pangeran Wanakusuma, dan Panembahan Rama. Akan tetapi, ketiga pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh Sunan Amangkurat I.

Semasa pemerintahan Raden Mas Sutikna (Sunan Amangkurat III), timbul kembai pemberontakan Pangeran Suryakusuma (putra Pangeran Puger). Dalam pemberontakan tersebut, Pangeran Suryakusuma dapat ditaklukkan. Selanjutnya timbullah pemberontkan Pangeran Puger yang mendapatkan bantuan dari Pangeran Arya Mataram dan pasukan VOC dari Semarang. Melalui pemberontakan Pangeran Puger itulah, kekuasaan Sunan Amangkurat III dapat digulingkan. Sejak itu, Pangeran Puger menjadi raja di Kesultanan Kartasura bergelar Sunan Pakubuwana I (1705-1719).

Ketika Sunan Pakubuwana I menjadi raja, timbul pemberontakan Ki Mas Dana dan Adipati Jayapuspita dari Surabaya. Semasa pemerintahan Sunan Amangkurat IV (1719-1726), Kasunanan Kartasura menghadapi persoalan pemberontakan Arya Dipanagara, Arya Mataram, Pangeran Blitar, dan Pangeran Purbaya (1719-1723).

Sepeninggal Sunan Amangkurat IV, Kasunanan Kartasura di bawah kendali Sunan Pakubuwana II. Semasa pemerintahan Sunan Pakubuwana II (1726-1742), Kasunanan kembali dihadapkan persoalan pemberontakan orang-orang Cina yang mendapatkan dukungan Mas Garendi (Sunan Kuning), dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa).

Pemberontakan Era Kasunanan Surakarta

Dikarenakan istana Kasunanan Kartasura mengalami kerusakan akibat Geger Pacinan, maka Sunan Pakubuwana II memindahkan istananya ke Desa Sala pada tahun 1743. Sejak itu, Kasunanan Kartasura kelak dikenal dengan nama Kasunanan Surakarta.

Semasa pemerintahan Sunan Pakubuwana II, pemberontakan Raden Mas Said yang telah menguasai Tanah Sukawati masih berlangsung. Melihat realitas itu, Sunan Pakubuwana II mengadakan sayembara. Bagi siapa yang dapat merebut Tanah Sukawati dari Raden Mas Said akan mendapatkan hadiah tanah seluas 3.000 cacah. Mendengar pengumuman sayembara itu, Pangeran Mangkubumi mumutuskan untuk mengikuti sayembara itu dan berhasil.

Kebahagiaan Pangeran Mangkubumi yang berhasil merebut tanah Sokawati dari tangan Raden Mas Said ternyata berbuntut kekecewaan. Dikarenakan berkat anjuran Patih Pringgalaya dan Baron van Inhoff (Gubernur Jendral VOC), Sunan Pakubuwana II urung menghadiahkan tanah 3.000 cacah pada Pangeran Mangkubumi. Dikarenakan juga, Sunan Pakubuwana II yang kemudian menyewakan tanah di daerah pesisir kepada VOC dengan harga 20.000 real per tahun itu semakin membuat Pangeran Mangkubumi sakit hati. Akibatnya, Pangeran Mangkubumi melakukan pemberontakan bersama Raden Mas Said pada tahun 1747.

 Semasa pemerintahan Raden Mas Suryadi (Sunan Pakubuwana III), pemberontakan Pangeran Mangkubumi berakhir. Keberakhiran pemberontakan itu dikarenakan Pangeran Mangkubumi mendapatkan tanah Ngayogyakarta melalui Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755.

Pemberontakan Raden Mas Said pun berakhir semenjak terwujudnya Perjanjian Salatiga pada tahun 1757. Melalui perjanjian itu, Pangeran Mangkubumi yang menyatakan kesetiaannya pada Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan VOC tersebut mendapatkan daerah kekuasaan Mangkunegaran.

Selain pemberontakan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said, Kasunanan Surakarta pula pernah diwarnai dengan aksi pemberontakan yang dilakukan oleh Jayawinata, Sultan Dandun Martengsari (Pangeran Buminata) dari Gunug Sembuyan, Adipati Cebolang dari Surabaya, dan Pangeran Madukara dari Gunung Kidul. [Sri Wintala Achmad]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun